Jembatan Cincin
Jembatan Cincin
Kuhirup
perlahan udara pagi sembari memejamkan mata. Kucoba memenuhi paru-paru dengan
udara segar. Aroma embun seolah turut masuk dalam indera penciumanku. Sejauh
mata memandang, sawah dan pohon mendominasi. Hijau, segar menyapu kornea mata. Langit
biru, cerah tanpa sapuan awan. Sementara di ujung timur, semburat merah sang mentari
membuat suasana kian cantik.
Aku berdiri di
ujung Jembatan Cincin. Jembatan tua Buatan Belanda yang menghubungkan
wilayah Unpad dengan beberapa kampung di sebelahnya. Bekas rel kereta
masih tampak di beberapa bagiannya. Sebagian lagi sudah tertutup tanah
dan kerikil. Pasti dulu, jembatan ini adalah jalur kereta api juga.
Baru
beberapa menit aku berdiri, sudah berkali
senyuman kulayangkan. Inilah yang kucintai dari kota Parahyangan. Masyarakatnya
yang ramah dan mudah menabur senyuman. Aku masih ingat, lima belas tahun lalu
ketika baru menginjakkan kaki di sini. Saat itu aku naik angkot dari Jatinangor
menuju Gedebage. Dan aku takjub dengan nada suara sopir kendaraan umum itu.
Nada yang tak kutemukan di kotaku. Suara yang sabar dan ramah.
Kulihat Alba di tanganku. Hmm, aku
masih punya waktu sepuluh menit sebelum Dana tiba. Kuambil kamera saku dari tas
punggung. Tanpa membuang waktu, segera kubidikkan pada pemandangan yang terhampar.
Lalu aku mundur beberapa langkah, hingga mendapatkan angle yang kuinginkan. Klik!
Satu detik berikutnya, kutekan tombol display.
Senyumku mengembang melihat hasilnya. Gambar separuh jembatan yang masih
tampak kokoh, dengan kaki berwarna abu yang tegak menancap di dasar
sungai bawahnya. Dan gunung Manglayang menjadi backgroundnya.
Tit…
tit!
Sebuah pesan masuk ke telepon
genggamku. Kurogoh saku celana, dan kubuka perlahan.
Aku
sudah di jalan menuju sana. Insya Allah lima menit lagi sampai.
Dana.
Apa kabar dia? Lusa, tepat lima belas tahun kami berpisah. Dua hari setelah kepindahanku ke kota
kelahirannya, dia malah pergi. Sebal rasanya jika mengingat saat itu. Apakah
dia tak pernah tahu rasa hatiku padanya?
Jantungku berdebar kian kencang.
Aku sadar, rasa ini tak pernah berubah sedikit pun. Meski berbagai episode
hidup kualami, tapi bagiku, ia masih istimewa. Itulah sebabnya, hingga detik
ini aku tak pernah membuka hati pada lelaki manapun.
Kuarahkan pandangan lurus ke depan.
Gedung UNPAD menjulang di tepi kanan. Kutebak, Dana akan datang dari
arah sana. Berkemeja biru, sesuai dengan kesepakatan kami minggu lalu
melalui facebook.
Aku berpindah duduk. Sengaja menjauh agar bisa lebih lama
memperhatikannya
ketika ia datang nanti. Mataku sibuk mencari sosok berbaju biru di
antara beberapa orang yang lalu lalang di kejauhan. Di bawah sana,
sungai berbatu membawa ingatanku pada
kejadian bertahun lalu.
“Eh, anak kota mau juga ya cuci
muka pakai air sungai!” serunya sore itu. Beberapa saat setelah menyatakan
keinginannya untuk merantau. Andai ia tahu, aku bukan hanya cuci muka, tapi karena
ingin menghapus air mata.
“Tory! Apa kabar?” sebuah suara
mengagetkanku. Refleks aku membalikkan badan.
“Dana…?” tanyaku menggantung.
Kulihat, seorang lelaki muda berdiri tepat di belakangku. Ada yang berubah darinya. Ia tak tegak lagi berdiri. Sebelah
kakinya hilang jemari.***
No comments:
Post a Comment