Wednesday 20 February 2013

Bab 2


Pertemuan Itu


Raiha: Tentang Dia
Malam tadi aku kepikiran soal lelaki itu. Ia hanya terpaku ketika aku memutuskan untuk ikut Dewa dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Harusnya, aku pamit padanya. Atau setidaknya mengucapkan terima kasih atas niat baiknya.
Duh, kenapa bisa lupa? Raiha… Raiha, jadi orang kok panikan begini?
Sekarang semua sudah terjadi.
Ia pasti menganggapku tak tahu diri. Tak tahu berterima kasih. Terus, kalau kami bertemu lagi, apa yang harus kulakukan? Apa aku harus bilang kelupaan? Tidak. Nanti dikiranya aku pelupa. Baiklah, kubilang saja aku buru-buru karena kemalaman.
Tapi yang jelas, aku tak akan pergi ke sana lagi. Aku harus bangun pagi biar bisa masak dan bawa makan siang sendiri. Biar enggak perlu ke kafe itu untuk makan siang. Jadi, kami tidak akan ketemu lagi. Tapi kalau kami ketemu di jalan kayak semalam? Duhh…

Tugas Besar
Suasana kantor akuntan publik Anita & Rekan terlihat sepi. Beberapa ruangan kosong, ditinggalkan pemiliknya untuk rapat manajemen. Akhir bulan adalah waktu evaluasi. Beberapa staf sedang tugas luar. Hanya ada empat yang tersisa di kantor.  Dewi, sang kasir sedang sibuk dengan laporan cash flow kantor. Sedangkan Raiha tampak serius di depan layar komputernya. Sesekali ia terlihat memeriksa sebuah buku tebal, berisi laporan keuangan klien.
Bunyi ketukan sepatu Bu Dhini memecah kesunyian. Suara langkahnya mendekati pantry. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan Bu Dhini memanggil-manggil Pak Maman lalu berbalas dengan jawaban Pak Imran yang mengatakan Pak Maman sedang sakit. Kini langkahnya mendekati ruang Raiha. Tepat di samping ruangan, perempuan berkerudung merah itu melongokkan kepalanya ke bawah.
Kantor itu memang menggunakan partisi sebagai pemisah setiap ruangannya. Menurut pendirinya, mereka menerapkan system egaliter. Terbuka. Tak ada yang harus dirahasiakan. Hanya ruang para manajer dan pemilik saja yang menggunakan dinding, untuk menjaga privasi para pemimpin. Juga agar tidak ada yang tahu kalau para manajer sedang menegur bawahannya.
 “Raiha, boleh bantu saya?” suara Bu Dhini mengagetkan Raiha yang sedang berkonsentrasi.
Raiha menoleh, lalu berdiri menghadap Bu Dhini. “Boleh, Bu,” ucapnya santun. Sebagai karyawan baru, ia memang harus siap mental disuruh membantu ini dan itu.
“Rapat manajemen diperkirakan akan molor. Ada hal serius yang sedang dibahas dan kemungkinan akan melewati jam makan siang. Boleh tolong belikan makan siang ke Dear Café? Pak Maman enggak masuk hari ini karena sakit.” Permintaan Bu Dhini terdengar ringan dan mudah, tapi membuat Raiha makin terperanjat.
“Dear Café?” Matanya membola sesaat. Ia langsung teringat lelaki semalam.
“Iya, yang di kompleks sini juga. Tahu, kan? Nanti Pak Dodo akan mengantar kamu.”
“I… Iya, Bu. Tahu. Menunya apa, Bu Dhini?” Gugup.
“Terserah kamu. Saya percaya seleramu,” jawab Bu Dhini sambil merapikan jilbabnya yang mulai kusut.
“Baik, Bu.”
“Makasih, ya, Rai. Saya balik ke ruang rapat, ya. Kalau sudah datang, biar Daud yang mengantar ke ruangan,” kata Bu Dhini sambil berlalu. Raiha memandangi atasannya yang selalu berpenampilan mengagumkan itu hingga berbelok ke ruang rapat.
“Dear Café? Duh, kenapa mesti aku?” gerutu Raiha. Masih berdiri, ia menyimpan fail di komputer, menutupnya lalu mendorong laci keyboard ke dalam. Dengan berat, dilangkahkan kakinya ke ruangan Dewi.
“Teh Dewi, Raiha disuruh beli makan siang. Berapa bungkus biasanya?” Raiha melemparkan tubuhnya ke kursi di depan Dewi.
“Kamu? He he he. Iya, dua office boy kita, Pak Maman dan Pak Dwi, sakit barengan. Beli lima belas saja, Rai. Nih uangnya,” jawab Dewi sambil membuka laci.
“Tunggu, Teh. Raiha mau ambil tas dulu,” setengah berlari Raiha kembali ke ruangannya. Ia meninggalkan Dewi yang sedang menyiapkan bukti pengeluaran uang.
“Mbak Raiha, saya tunggu depan, ya,” Pak Dodo, sopir kantor sudah berada di belakangnya ketika Raiha berbalik badan setelah mengambil tas.
“Sip, Pak Dodo. Ups, dompet kelupaan,” Raiha kembali ke belakang meja kerjanya, membuka laci lalu mengambil dompet. Tanpa menunggu ia segera mengikuti PakDodo menuju parkir depan kantor.
oOo
Jam makan siang, Dear Café selalu ramai. Hhh, andai ada Torry and the gank, keluh Raiha begitu membuka pintu. Diedarkan pandangannya, tampak sedang mencari seseorang. Ia terus waspada, khawatir sosok itu muncul tiba-tiba.
Raiha berjalan ke utara. Tempat meja buffet berada. Dikelilinginya meja yang merapat ke dinding kafe itu, memperhatikan menu yang tersaji. Kepulan asap dari masakan panas menguarkan bau sedap, membuat Raiha harus menelan ludah beberapa kali.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Raiha terperanjat. Refleks ditolehkan kepala ke sumber suara.
Huft, syukurlah,” ujarnya tanpa sadar.
“Iya, Mbak?” pelayan dengan nama Rengga di dadanya itu mengernyit mendengar jawaban Raiha.
“Oh, enggak, Mas. Saya mau dibungkuskan nasi putih, oseng jamur paprika, ayam bacem bakar dan tempe goreng, ya. Sambelnya jangan lupa,” jawabnya setelah memilih menu.
“Baik, Mbak. Buah dan minumnya?”
“Buahnya jeruk mandarin saja. Minumnya enggak usah.”
“Siap, Mbak. Silakan bayar di kasir. Nanti pesanan akan diantar ke mobil,” ujar Rengga tanggap. Seolah tahu pasti bahwa Raiha datang diantar mobil.
Tanpa komentar, Raiha berjalan menuju meja kasir.
DEG!
Dada Raiha berdebar kencang ketika ia mendapati sosok yang dijumpainya semalam berdiri di belakang meja itu. Sosok itu tersenyum padanya. Raiha membalas kikuk. “Uh… eh, Mas yang semalam nawarin saya tumpangan, ya?” ucapnya basa basi.
Lelaki itu mengangguk ringan lalu mendatarkan wajahnya. Senyumnya tak tampak lagi.
“Maaf, semalam saya buru-buru. Saya ditunggu adik-adik di rumah,” jelas Raiha tanpa diminta.
“Makannya apa, Mbak?” tanya lelaki itu tanpa menanggapi penjelasan Raiha.
Raiha cemberut. Dengan ekspresi sebal, Raiha menyebutkan menu yang ia pesan tadi. Dan agar tak lama-lama di depan lelaki itu, ia buru-buru mengambil dompetnya. Dicarinya uang yang tadi diambilnya dari Dewi. Tak ada di dompet, ia pun mengubek-ubek tas cangklong orangenya.
“Astaghfirullah!” seru Raiha, refleks sambil menepuk dahi.
Tanpa ekspresi, lelaki di balik meja kasir menulis nota lalu mengangsurkannya ke Raiha, “Ambil duit saja dulu.”
Raiha melongo melihat sikap sinis lelaki itu. Tanpa permisi, ia membalik badannya dan bergegas ke tempat parkir. Sekilas dilihatnya nota di genggamannya. Dan ia makin terkejut ketika mendapati nama yang tertera di bawah tanda tangan dan stempel Dear Café: Rifki Rahadian.
“Rifki? Pemilik kafe ini? Gawat! Kok aku bisa enggak perhatian sama dia. Kemarin kan ketemu pas dia jadi kasir? Raiha… Raiha!” gumam Raiha. Didekapnya tas ke dada, lalu dipercepat langkahnya menuju Panther hitam yang sudah menunggu.  
“Sudah, Mbak? Saya ambil makanannya dulu, ya,” ujar Pak Dodo begitu Raiha sampai dan duduk di sebelahnya.
“Enggak usah, Pak. Bentar lagi mereka anter, kok. Kita tunggu sini aja,” jawab Raiha datar.
“Eh, kok muka Mbak Raiha pucat begitu, sih? Mbak sakit?”
“Masak, sih, Pak? Enggak kok,” jawab Raiha. Ia mengamati wajahnya di cermin tengah. Pasti gara-gara ketemu Rifki tadi, pikirnya.
“Beneran! Biasanya Mbak selalu segar meskipun enggak pernah pakai make up,” tanggap Pak Dodo.
“Bukan sakit. Habis melihat hantu,” jawab Raiha asal, membuat Pak Dodo mengerenyit.
“Siang-siang begini? Di mana?”
“Di dalam. Serem, hiii!” imbuh Raiha membuat Pak Dodo makin penasaran. Ketika akan bertanya lagi, terdengar ketukan di kaca. Rengga muncul dengan senyum lebar. Pak Dodo membuka pintu, menerima dua kresek besar berisi lima box nasi dan memasukkannya ke bagasi.
“Makasih sudah datang, ya, Mbak. Pak. Saya ke dalam dulu,” pamit Rengga ramah.
Raiha mengangguk sambil tersenyum. "Tolong bilang ke Pak Rifki, nanti uangnya diantar Pak Dodo, ya," sahut Raiha saat ingat tentang pembayaran. 
Rengga mengangguk cepat, tersenyum lalu pergi.
Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan parkir Dear Café. Membawa serta pertemuan tak terduga untuk kedua kalinya itu, dalam benak Raiha.
oOo
Menjelang sore, kantor tempat Raiha bekerja kembali ramai. Torry dan Vero sudah datang dari tugasnya di luar kantor. Para manajer pun tampak sibuk di ruangan masing-masing. Dewa berjalan gontai melewati koridor kantor, bersiul ringan sambil menengok ke kiri dan kanan. Sesekali mulut usilnya menggoda para gadis yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tiba di samping ruangan Raiha, Dewa berhenti. Ia melongok ke bawah, memerhatikan Raiha dengan intens.
Raiha tak peduli.
“Serius banget, sih, Neng? Nanti matanya sakit, loh, kalau terlalu dekat sama monitor,” ucapnya sok perhatian. Khas Dewa.
Raiha menoleh ke atas, lalu mengedikkan bahu.
“Eh, diperhatiin kok cuek begitu?” Dewa kembali berkomentar.
“Iya, makasih,” ucap Raiha ringkas.
Penasaran, Dewa pun masuk ke ruangan berukuran sedang itu. Diseretnya kursi kantor berwarna hijau tosca, lalu diletakkan tepat di depan Raiha. Beberapa lama diamatinya gadis yang sedang sibuk mengetik itu.
Raiha bergeming. Ia terus melakukan pekerjaannya tanpa memedulikan Dewa. Tabu baginya mengobrol saat jam kantor.
“Raiha… apa sih arti namamu?”
Raiha diam. Tetap fokus pada laporan keuangan di samping kiri, keyboard di hadapannya serta layar monitor yang menampilkan deretan angka-angka.
“Raiha Sasmita. Pasti salah satu orang tuamu orang Sunda. Iya, kan? Siapa? Mama apa Papa?” Dewa terus melancarkan serangan.
“Ehm, nanti pulang bareng aku saja, ya. Kebetulan aku ada perlu ke arah rumahmu,” akhirnya Dewa tak tahan untuk menyampaikan maksudnya.
“Tidak, Wa. Makasih,” tolak Raiha cepat.
“Dewa! Kamu nih, dicari Pak Satria, tuh!” tiba-tiba Farah sudah berada di belakang Dewa.
“Emang ada apa dengan Bos?” tanya Dewa balik.
Farah menggeleng cepat, “Entah. Cepetan!”
“Iya… iya! Bawel!” Dewa berdiri dari kursinya lalu berjalan tenang kembali ke ruangannya.
 Raiha melirik Dewa sekilas lalu tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke Farah, diikuti senyum penuh kemenangan. Tepat pukul lima, ia membereskan mejanya. Laporan keuangan bersampul putih dimasukkan ke laci fail. Berbagai alat tulis kantor dirapikan lalu dimasukkan ke mug yang patah pegangannya, di ujung meja. Terakhir ia matikan komputer. Setelah memastikan semua terletak pada tempatnya, Raiha berdiri. Menenteng tas dan berjalan menuju pintu keluar.
“Raiha, tunggu!” kali ini Sasya memanggilnya. “Kita pulang bareng, yuk. Aku mau ke rumah tante, nih,” ujar Sasya sambil memegang lengan Raiha.

Raiha menoleh sebentar lalu tersenyum sambil terus berjalan. “Boleh. Bulik Utami apa kabarnya? Dah lama banget enggak tampak. Biasanya suka lihat Bulik pergi ke pasar lewat depan rumahku. Pagi-pagi selepas Subuh.”
“Itulah, Rai. Sudah sebulan ini Tante sakit. Ada saja sakitnya. Yang meriang, linu, atau pun sakit perut. Kasihan Tante. Mbak Rahayu, anak semata wayangnya, kan, tinggal di Jakarta ikut suaminya. Oom juga masih kerja lagi. Jadi Tante seringnya sendirian. Bayangin deh, udahlah sakit… sendirian pula,” Sasya cerita panjang lebar.
Mereka sudah sampai di pertigaan dekat kantor. Menunggu angkot yang akan membawa mereka pulang.
“Rai, jalan ke sana, yuk! Di sini suka susah,” Sasya menarik tangan Raiha, mengajaknya berjalan sekitar dua puluh meter ke arah Barat.
Raiha menurut. Hatinya kebat kebit. Berjalan ke sana berarti mendekati Dear Café. Ia masih ingat betul sikap Rifki yang dingin dan sinis tadi siang. Raiha bergidik ngeri.
“Raiha, mau mampir ke Dear?” Sasya menawari, membuat Raiha spontan menoleh ke kafe itu.
“Enggak, kenapa?” Sesekali Raiha masih melirik. Mencari-cari mobil Toyota putih yang semalam hampir dinaikinya.
“Enggak. Dengar-dengar para gadis itu sedang memperebutkan perhatian Rifki, ya? Aku, sih, minder duluan. Mana mungkin Rifki tertarik dengan cewek kayak aku,” Sasya menunduk dalam-dalam.
“Ihh, kok gitu, Sya? Meski sedikit berisi, kamu cantik, kok! Eh, lagian, jodoh itu kan ditangan Tuhan. Siapa tahu Rifki jodohmu,” Raiha menyemangati.
Mata Sasya mengerjap dan berbinar, lalu tersenyum lebar. Gigi putih berbekhelnya terlihat. “Bener juga kamu, Rai. Jodoh itu misteri, ya, kan?”
Raiha tersenyum lalu mengangguk. “Yuk, ah. Dah sore,” Raiha menyeret tangan Sasya yang sibuk menarik bajunya yang terangkat karena sedikit kesempitan.
Dua gadis itu pun segera naik angkot jurusan Arjosari-Dinoyo-Landungsari, begitu mereka mendapatkannya.
“Raiha, Dewa sering ke ruanganmu, ya?” Sasya mengganti topik pembicaraan begitu duduk di angkot. Beberapa kali ia tampak menggeser posisinya, mencari sandaran yang pas.
“He-eh,” jawab Raiha singkat.
“Eh, kayaknya dia naksir kamu, tuh. Hi hi hi,” Sasya terkikik, membuat lima orang yang duduk di sekitar mereka menoleh melihatnya.
Raiha ikut menoleh ke kanan, ke arah Sasya. Ia mengembuskan napasnya dengan cepat. “Kamu ini. Sering datang ke ruangan udah dibilang suka. Gimana dengan Bu Dhini yang bolak balik ke ruanganku? Suka juga?” Raiha pura-pura marah. Dirogohnya uang dari dalam tas. Ada satu tempat di dalam tas itu yang khusus ia isi dengan uang transport, seribuan dan lima ratusan. Sejak beberapa kali lupa membawa dompet dan harus menanggung malu karena tak bisa membayar ongkos, Raiha selalu menjaga tempat itu selalu terisi. Minimal lima ribu, dua kali ongkos bolak-balik. “Eh, malah cekikikan!”
“Beneran, Rai. Aku pernah lihat Dewa menulis namamu di kertas putih pas aku melintasinya. Tempat dudukku dan dia kan deketan. Aku hampir selalu tahu aktivitasnya,” Sasya meyakinkan. “Emang kamu enggak tertarik sama dia? Menurutku sih, lebih cakepan Dewa dibandingkan Rifki-Rifki itu. Dewa lebih putih, dan kayaknya lebih tinggi. Soal rambut, aku suka yang modelnya kayak Dewa. Lurus dan halus. Kalau Rifki rambutnya…, ehm, gimana, ya? Menurut pengamatanku, dalam waktu sepuluh tahun ke depan, cowok model Rifki akan botak, ha ha ha,” lagi-lagi Sasya membuat orang melirik ke arahnya. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Psst! Kenceng banget, ih, ketawanya,” bisik Raiha sambil mencubit paha Sasya, membuat Sasya mengaduh.
“Aku ngebayangin Rifki botak, hi hi hi,” Sasya semakin terkikik, hingga keluar air dari sudut matanya.
“Kamu nih, enggak fokus. Masak malah ngebayangin Rifki botak,” Raiha menarik bibirnya membentuk senyuman. Ia ikut geli membayangkan hal yang sama.
“Eh, tapi beneran. Dewa kayaknya suka sama kamu. Waktu itu, aku pernah dengar ia ngobrol dengan seseorang, nyebut-nyebut nama kamu, loh,” Sasya kembali ke tema awal. “Tapi kalau menurutku, kamu jangan sampe suka sama dia, Rai. Dia, kan, playboy. Banyak banget ceweknya,” Sasya memandangi wajah Raiha lekat-lekat.
 “Darimana kamu tahu?” Raiha pura-pura tidak melihat. Pandangannya lurus ke depan, ke pepohonan rindang di kiri jalan. Sesekali tampak pedagang kaki lima yang dikerubungi pelanggan.
Ketika angkot berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang, Raiha melihat seorang tukang bakso sedang membuka panci besarnya. Aroma kaldu yang kental mampir di hidung Raiha, membuat ia menelan ludah saat membayangkan sedapnya semangkuk bakso di sore hari hujan seperti ini.
“Aku, kan, sering banget denger Dewa sedang merayu para cewek itu. Aku juga sering lihat dia jalan sama orang yang berbeda di mall,” Sasya menjawab yakin.
“Aku enggak akan masuk hitungan dia, kali, Sya. Tenang ajalah,” Raiha menyisihkan anak rambut yang hampir menusuk matanya.
“Ih, siapa bilang? Biasanya, cowok kayak Dewa, sukanya sama gadis angkuh dan cuek kayak kamu. Bukannya para gadis yang ngejar-ngejar dia,” Sasya semakin serius. Suaranya makin keras.
“Psst! Pelan-pelan aja ngomongnya, Bu. Terus maumu apa? Aku harus gimana?” Raiha melotot, pura-pura sewot.
“Kamu jauh-jauh deh, dari si Dewa. Kamu terlalu baik untuk dia,” Sasya memberikan saran. Melihat Raiha tak menanggapi, ia memukul-mukul paha Raiha, “Woi, denger enggak? Jangan mau diajak ke mana pun sama Dewa. Oke?”
“Siap, Mom!” Raiha menyerah. Ia tersenyum, mengerlingkan mata dan mengangkat tangannya menyerupai orang yang member hormat, membuat Sasya tersenyum puas.
Angkot berhenti beberapa kali untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Setengah jam kemudian, keduanya turun di sebuah gang. Menyusuri jalanannya yang hanya pas untuk dua mobil saja. Tak jarang Raiha tersenyum pada orang-orang yang ia temui. Menyapa mereka dan menganggukkan kepala.
Sasya mengamatinya dengan cermat. “Betul, kamu terlalu baik untuk Dewa. Jangan mau jadi pacarnya, ya!” pesannya lagi.
Raiha tersenyum simpul.
oOo
“Betul, Ris. Mata kakak jeli soal Jayden. Jangan meragukan Kakak untuk urusan ini,” ucap Raiha meyakinkan adiknya. Raiha sebenarnya enggan dan sudah bosan beradu mulut dengan Riska. Tapi jika Raiha menyinggung soal Jayden, Riska pasti emosi. Riska selalu membela Jayden, sementara Raiha yakin, Jayden bukan lelaki yang baik untuk adiknya. Hingga mereka seringkali bertengkar.
Seperti malam itu. Riska baru saja datang dari kampus. Baru melepas sepatunya, bahkan belum sempat meletakkan tas punggungnya yang tampak berat. Ia mengeluhkan tugas yang menumpuk akhir-akhir ini. “Emang berapa kali Kakak melihat Jayden sama cewek lain?” Riska menantang.
“Sekali, tapi Kakak sangat yakin,” seru Raiha yang sedang duduk di sofa. Di tangannya tampak remote tivi beberapa kali ditekan tombolnya.
“Sekali itu bukan jaminan, Kak. Baru saja kemarin Kakak cerita kalau kakak salah lihat orang. Dan penglihatan Kakak yang suka salah itu, tak hanya sekali. Berkali-kali. Riska yakin, Kakak juga salah lihat waktu itu,” Riska mulai ngotot.
Raiha menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan untuk menekan emosinya. Ia tidak mau terpancing lalu akhirnya memarahi adik yang disayanginya itu. Ia ingat benar sikap Mama, yang sabar menghadapi mereka bertiga. Raiha ingin sesabar Mama.
“Riska, duduklah dulu. Kita ngobrol baik-baik,” Raiha bangkit, hendak meraih tangan adiknya untuk diajak duduk berdua di sofa orange kesayangan mereka.
Riska menepis tangan Raiha dengan kasar, lalu menggeser tempat berdirinya, semakin menjauhi Raiha. Suara napasnya yang memburu tak bisa disembunyikannya.
“Riska sudah besar, Kak. Riska tahu yang terbaik untuk Riska!” Riska berusaha mengakhiri percakapan tentang Jayden dengan kalimat pamungkasnya. Berharap Raiha diam dan tak lagi mengusiknya. Ia melangkah menuju kamar.
Bukannya diam, Raiha malah mengomel, “Ya, kamu memang sudah besar. Tapi itu hanya badanmu saja. Kamu terlalu lugu sampai-sampai enggak tahu kalau dibohongin Jayden,” Raiha tak lagi dapat menahan kekesalannya menghadapi adiknya yang berwajah ayu itu. “Kakak heran, kok bisa, ya, Mama sabar ngadepin kamu.”
“Apa maksud Kakak? Kakak bilang Riska bandel? Enggak nurut sama Mama?” suara Riska kian meninggi.
“Terus, apa namanya kalau dikasih tahu ngotot begitu?” Raiha melengkingkan suaranya. Diminumnya segelas jeruk dingin sekali tenggak. Sesekali matanya melirik Riska yang masih berdiri sambil memegangi tas di dekat pintu.
“Riska akan bilang ke Mama karena Kakak sudah memarahi Riska tiap hari!” Riska mengancam.
“Ayo kalau berani. Mengadulah! Dan Kakak akan cerita soal kelakuanmu akhir-akhir ini!” Raiha tak mau kalah.
“Kakak diktator!” Riska berlari ke kamar dan menutup pintunya dengan kencang, setelah memaki kakaknya. Suara tangisnya terdengar hingga menembus pintu.
oOo  




No comments:

Post a Comment