Wednesday 20 February 2013

Bab 2


Pertemuan Itu


Raiha: Tentang Dia
Malam tadi aku kepikiran soal lelaki itu. Ia hanya terpaku ketika aku memutuskan untuk ikut Dewa dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Harusnya, aku pamit padanya. Atau setidaknya mengucapkan terima kasih atas niat baiknya.
Duh, kenapa bisa lupa? Raiha… Raiha, jadi orang kok panikan begini?
Sekarang semua sudah terjadi.
Ia pasti menganggapku tak tahu diri. Tak tahu berterima kasih. Terus, kalau kami bertemu lagi, apa yang harus kulakukan? Apa aku harus bilang kelupaan? Tidak. Nanti dikiranya aku pelupa. Baiklah, kubilang saja aku buru-buru karena kemalaman.
Tapi yang jelas, aku tak akan pergi ke sana lagi. Aku harus bangun pagi biar bisa masak dan bawa makan siang sendiri. Biar enggak perlu ke kafe itu untuk makan siang. Jadi, kami tidak akan ketemu lagi. Tapi kalau kami ketemu di jalan kayak semalam? Duhh…

Tugas Besar
Suasana kantor akuntan publik Anita & Rekan terlihat sepi. Beberapa ruangan kosong, ditinggalkan pemiliknya untuk rapat manajemen. Akhir bulan adalah waktu evaluasi. Beberapa staf sedang tugas luar. Hanya ada empat yang tersisa di kantor.  Dewi, sang kasir sedang sibuk dengan laporan cash flow kantor. Sedangkan Raiha tampak serius di depan layar komputernya. Sesekali ia terlihat memeriksa sebuah buku tebal, berisi laporan keuangan klien.
Bunyi ketukan sepatu Bu Dhini memecah kesunyian. Suara langkahnya mendekati pantry. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan Bu Dhini memanggil-manggil Pak Maman lalu berbalas dengan jawaban Pak Imran yang mengatakan Pak Maman sedang sakit. Kini langkahnya mendekati ruang Raiha. Tepat di samping ruangan, perempuan berkerudung merah itu melongokkan kepalanya ke bawah.
Kantor itu memang menggunakan partisi sebagai pemisah setiap ruangannya. Menurut pendirinya, mereka menerapkan system egaliter. Terbuka. Tak ada yang harus dirahasiakan. Hanya ruang para manajer dan pemilik saja yang menggunakan dinding, untuk menjaga privasi para pemimpin. Juga agar tidak ada yang tahu kalau para manajer sedang menegur bawahannya.
 “Raiha, boleh bantu saya?” suara Bu Dhini mengagetkan Raiha yang sedang berkonsentrasi.
Raiha menoleh, lalu berdiri menghadap Bu Dhini. “Boleh, Bu,” ucapnya santun. Sebagai karyawan baru, ia memang harus siap mental disuruh membantu ini dan itu.
“Rapat manajemen diperkirakan akan molor. Ada hal serius yang sedang dibahas dan kemungkinan akan melewati jam makan siang. Boleh tolong belikan makan siang ke Dear Café? Pak Maman enggak masuk hari ini karena sakit.” Permintaan Bu Dhini terdengar ringan dan mudah, tapi membuat Raiha makin terperanjat.
“Dear Café?” Matanya membola sesaat. Ia langsung teringat lelaki semalam.
“Iya, yang di kompleks sini juga. Tahu, kan? Nanti Pak Dodo akan mengantar kamu.”
“I… Iya, Bu. Tahu. Menunya apa, Bu Dhini?” Gugup.
“Terserah kamu. Saya percaya seleramu,” jawab Bu Dhini sambil merapikan jilbabnya yang mulai kusut.
“Baik, Bu.”
“Makasih, ya, Rai. Saya balik ke ruang rapat, ya. Kalau sudah datang, biar Daud yang mengantar ke ruangan,” kata Bu Dhini sambil berlalu. Raiha memandangi atasannya yang selalu berpenampilan mengagumkan itu hingga berbelok ke ruang rapat.
“Dear Café? Duh, kenapa mesti aku?” gerutu Raiha. Masih berdiri, ia menyimpan fail di komputer, menutupnya lalu mendorong laci keyboard ke dalam. Dengan berat, dilangkahkan kakinya ke ruangan Dewi.
“Teh Dewi, Raiha disuruh beli makan siang. Berapa bungkus biasanya?” Raiha melemparkan tubuhnya ke kursi di depan Dewi.
“Kamu? He he he. Iya, dua office boy kita, Pak Maman dan Pak Dwi, sakit barengan. Beli lima belas saja, Rai. Nih uangnya,” jawab Dewi sambil membuka laci.
“Tunggu, Teh. Raiha mau ambil tas dulu,” setengah berlari Raiha kembali ke ruangannya. Ia meninggalkan Dewi yang sedang menyiapkan bukti pengeluaran uang.
“Mbak Raiha, saya tunggu depan, ya,” Pak Dodo, sopir kantor sudah berada di belakangnya ketika Raiha berbalik badan setelah mengambil tas.
“Sip, Pak Dodo. Ups, dompet kelupaan,” Raiha kembali ke belakang meja kerjanya, membuka laci lalu mengambil dompet. Tanpa menunggu ia segera mengikuti PakDodo menuju parkir depan kantor.
oOo
Jam makan siang, Dear Café selalu ramai. Hhh, andai ada Torry and the gank, keluh Raiha begitu membuka pintu. Diedarkan pandangannya, tampak sedang mencari seseorang. Ia terus waspada, khawatir sosok itu muncul tiba-tiba.
Raiha berjalan ke utara. Tempat meja buffet berada. Dikelilinginya meja yang merapat ke dinding kafe itu, memperhatikan menu yang tersaji. Kepulan asap dari masakan panas menguarkan bau sedap, membuat Raiha harus menelan ludah beberapa kali.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” Raiha terperanjat. Refleks ditolehkan kepala ke sumber suara.
Huft, syukurlah,” ujarnya tanpa sadar.
“Iya, Mbak?” pelayan dengan nama Rengga di dadanya itu mengernyit mendengar jawaban Raiha.
“Oh, enggak, Mas. Saya mau dibungkuskan nasi putih, oseng jamur paprika, ayam bacem bakar dan tempe goreng, ya. Sambelnya jangan lupa,” jawabnya setelah memilih menu.
“Baik, Mbak. Buah dan minumnya?”
“Buahnya jeruk mandarin saja. Minumnya enggak usah.”
“Siap, Mbak. Silakan bayar di kasir. Nanti pesanan akan diantar ke mobil,” ujar Rengga tanggap. Seolah tahu pasti bahwa Raiha datang diantar mobil.
Tanpa komentar, Raiha berjalan menuju meja kasir.
DEG!
Dada Raiha berdebar kencang ketika ia mendapati sosok yang dijumpainya semalam berdiri di belakang meja itu. Sosok itu tersenyum padanya. Raiha membalas kikuk. “Uh… eh, Mas yang semalam nawarin saya tumpangan, ya?” ucapnya basa basi.
Lelaki itu mengangguk ringan lalu mendatarkan wajahnya. Senyumnya tak tampak lagi.
“Maaf, semalam saya buru-buru. Saya ditunggu adik-adik di rumah,” jelas Raiha tanpa diminta.
“Makannya apa, Mbak?” tanya lelaki itu tanpa menanggapi penjelasan Raiha.
Raiha cemberut. Dengan ekspresi sebal, Raiha menyebutkan menu yang ia pesan tadi. Dan agar tak lama-lama di depan lelaki itu, ia buru-buru mengambil dompetnya. Dicarinya uang yang tadi diambilnya dari Dewi. Tak ada di dompet, ia pun mengubek-ubek tas cangklong orangenya.
“Astaghfirullah!” seru Raiha, refleks sambil menepuk dahi.
Tanpa ekspresi, lelaki di balik meja kasir menulis nota lalu mengangsurkannya ke Raiha, “Ambil duit saja dulu.”
Raiha melongo melihat sikap sinis lelaki itu. Tanpa permisi, ia membalik badannya dan bergegas ke tempat parkir. Sekilas dilihatnya nota di genggamannya. Dan ia makin terkejut ketika mendapati nama yang tertera di bawah tanda tangan dan stempel Dear Café: Rifki Rahadian.
“Rifki? Pemilik kafe ini? Gawat! Kok aku bisa enggak perhatian sama dia. Kemarin kan ketemu pas dia jadi kasir? Raiha… Raiha!” gumam Raiha. Didekapnya tas ke dada, lalu dipercepat langkahnya menuju Panther hitam yang sudah menunggu.  
“Sudah, Mbak? Saya ambil makanannya dulu, ya,” ujar Pak Dodo begitu Raiha sampai dan duduk di sebelahnya.
“Enggak usah, Pak. Bentar lagi mereka anter, kok. Kita tunggu sini aja,” jawab Raiha datar.
“Eh, kok muka Mbak Raiha pucat begitu, sih? Mbak sakit?”
“Masak, sih, Pak? Enggak kok,” jawab Raiha. Ia mengamati wajahnya di cermin tengah. Pasti gara-gara ketemu Rifki tadi, pikirnya.
“Beneran! Biasanya Mbak selalu segar meskipun enggak pernah pakai make up,” tanggap Pak Dodo.
“Bukan sakit. Habis melihat hantu,” jawab Raiha asal, membuat Pak Dodo mengerenyit.
“Siang-siang begini? Di mana?”
“Di dalam. Serem, hiii!” imbuh Raiha membuat Pak Dodo makin penasaran. Ketika akan bertanya lagi, terdengar ketukan di kaca. Rengga muncul dengan senyum lebar. Pak Dodo membuka pintu, menerima dua kresek besar berisi lima box nasi dan memasukkannya ke bagasi.
“Makasih sudah datang, ya, Mbak. Pak. Saya ke dalam dulu,” pamit Rengga ramah.
Raiha mengangguk sambil tersenyum. "Tolong bilang ke Pak Rifki, nanti uangnya diantar Pak Dodo, ya," sahut Raiha saat ingat tentang pembayaran. 
Rengga mengangguk cepat, tersenyum lalu pergi.
Mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan parkir Dear Café. Membawa serta pertemuan tak terduga untuk kedua kalinya itu, dalam benak Raiha.
oOo
Menjelang sore, kantor tempat Raiha bekerja kembali ramai. Torry dan Vero sudah datang dari tugasnya di luar kantor. Para manajer pun tampak sibuk di ruangan masing-masing. Dewa berjalan gontai melewati koridor kantor, bersiul ringan sambil menengok ke kiri dan kanan. Sesekali mulut usilnya menggoda para gadis yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tiba di samping ruangan Raiha, Dewa berhenti. Ia melongok ke bawah, memerhatikan Raiha dengan intens.
Raiha tak peduli.
“Serius banget, sih, Neng? Nanti matanya sakit, loh, kalau terlalu dekat sama monitor,” ucapnya sok perhatian. Khas Dewa.
Raiha menoleh ke atas, lalu mengedikkan bahu.
“Eh, diperhatiin kok cuek begitu?” Dewa kembali berkomentar.
“Iya, makasih,” ucap Raiha ringkas.
Penasaran, Dewa pun masuk ke ruangan berukuran sedang itu. Diseretnya kursi kantor berwarna hijau tosca, lalu diletakkan tepat di depan Raiha. Beberapa lama diamatinya gadis yang sedang sibuk mengetik itu.
Raiha bergeming. Ia terus melakukan pekerjaannya tanpa memedulikan Dewa. Tabu baginya mengobrol saat jam kantor.
“Raiha… apa sih arti namamu?”
Raiha diam. Tetap fokus pada laporan keuangan di samping kiri, keyboard di hadapannya serta layar monitor yang menampilkan deretan angka-angka.
“Raiha Sasmita. Pasti salah satu orang tuamu orang Sunda. Iya, kan? Siapa? Mama apa Papa?” Dewa terus melancarkan serangan.
“Ehm, nanti pulang bareng aku saja, ya. Kebetulan aku ada perlu ke arah rumahmu,” akhirnya Dewa tak tahan untuk menyampaikan maksudnya.
“Tidak, Wa. Makasih,” tolak Raiha cepat.
“Dewa! Kamu nih, dicari Pak Satria, tuh!” tiba-tiba Farah sudah berada di belakang Dewa.
“Emang ada apa dengan Bos?” tanya Dewa balik.
Farah menggeleng cepat, “Entah. Cepetan!”
“Iya… iya! Bawel!” Dewa berdiri dari kursinya lalu berjalan tenang kembali ke ruangannya.
 Raiha melirik Dewa sekilas lalu tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke Farah, diikuti senyum penuh kemenangan. Tepat pukul lima, ia membereskan mejanya. Laporan keuangan bersampul putih dimasukkan ke laci fail. Berbagai alat tulis kantor dirapikan lalu dimasukkan ke mug yang patah pegangannya, di ujung meja. Terakhir ia matikan komputer. Setelah memastikan semua terletak pada tempatnya, Raiha berdiri. Menenteng tas dan berjalan menuju pintu keluar.
“Raiha, tunggu!” kali ini Sasya memanggilnya. “Kita pulang bareng, yuk. Aku mau ke rumah tante, nih,” ujar Sasya sambil memegang lengan Raiha.

Raiha menoleh sebentar lalu tersenyum sambil terus berjalan. “Boleh. Bulik Utami apa kabarnya? Dah lama banget enggak tampak. Biasanya suka lihat Bulik pergi ke pasar lewat depan rumahku. Pagi-pagi selepas Subuh.”
“Itulah, Rai. Sudah sebulan ini Tante sakit. Ada saja sakitnya. Yang meriang, linu, atau pun sakit perut. Kasihan Tante. Mbak Rahayu, anak semata wayangnya, kan, tinggal di Jakarta ikut suaminya. Oom juga masih kerja lagi. Jadi Tante seringnya sendirian. Bayangin deh, udahlah sakit… sendirian pula,” Sasya cerita panjang lebar.
Mereka sudah sampai di pertigaan dekat kantor. Menunggu angkot yang akan membawa mereka pulang.
“Rai, jalan ke sana, yuk! Di sini suka susah,” Sasya menarik tangan Raiha, mengajaknya berjalan sekitar dua puluh meter ke arah Barat.
Raiha menurut. Hatinya kebat kebit. Berjalan ke sana berarti mendekati Dear Café. Ia masih ingat betul sikap Rifki yang dingin dan sinis tadi siang. Raiha bergidik ngeri.
“Raiha, mau mampir ke Dear?” Sasya menawari, membuat Raiha spontan menoleh ke kafe itu.
“Enggak, kenapa?” Sesekali Raiha masih melirik. Mencari-cari mobil Toyota putih yang semalam hampir dinaikinya.
“Enggak. Dengar-dengar para gadis itu sedang memperebutkan perhatian Rifki, ya? Aku, sih, minder duluan. Mana mungkin Rifki tertarik dengan cewek kayak aku,” Sasya menunduk dalam-dalam.
“Ihh, kok gitu, Sya? Meski sedikit berisi, kamu cantik, kok! Eh, lagian, jodoh itu kan ditangan Tuhan. Siapa tahu Rifki jodohmu,” Raiha menyemangati.
Mata Sasya mengerjap dan berbinar, lalu tersenyum lebar. Gigi putih berbekhelnya terlihat. “Bener juga kamu, Rai. Jodoh itu misteri, ya, kan?”
Raiha tersenyum lalu mengangguk. “Yuk, ah. Dah sore,” Raiha menyeret tangan Sasya yang sibuk menarik bajunya yang terangkat karena sedikit kesempitan.
Dua gadis itu pun segera naik angkot jurusan Arjosari-Dinoyo-Landungsari, begitu mereka mendapatkannya.
“Raiha, Dewa sering ke ruanganmu, ya?” Sasya mengganti topik pembicaraan begitu duduk di angkot. Beberapa kali ia tampak menggeser posisinya, mencari sandaran yang pas.
“He-eh,” jawab Raiha singkat.
“Eh, kayaknya dia naksir kamu, tuh. Hi hi hi,” Sasya terkikik, membuat lima orang yang duduk di sekitar mereka menoleh melihatnya.
Raiha ikut menoleh ke kanan, ke arah Sasya. Ia mengembuskan napasnya dengan cepat. “Kamu ini. Sering datang ke ruangan udah dibilang suka. Gimana dengan Bu Dhini yang bolak balik ke ruanganku? Suka juga?” Raiha pura-pura marah. Dirogohnya uang dari dalam tas. Ada satu tempat di dalam tas itu yang khusus ia isi dengan uang transport, seribuan dan lima ratusan. Sejak beberapa kali lupa membawa dompet dan harus menanggung malu karena tak bisa membayar ongkos, Raiha selalu menjaga tempat itu selalu terisi. Minimal lima ribu, dua kali ongkos bolak-balik. “Eh, malah cekikikan!”
“Beneran, Rai. Aku pernah lihat Dewa menulis namamu di kertas putih pas aku melintasinya. Tempat dudukku dan dia kan deketan. Aku hampir selalu tahu aktivitasnya,” Sasya meyakinkan. “Emang kamu enggak tertarik sama dia? Menurutku sih, lebih cakepan Dewa dibandingkan Rifki-Rifki itu. Dewa lebih putih, dan kayaknya lebih tinggi. Soal rambut, aku suka yang modelnya kayak Dewa. Lurus dan halus. Kalau Rifki rambutnya…, ehm, gimana, ya? Menurut pengamatanku, dalam waktu sepuluh tahun ke depan, cowok model Rifki akan botak, ha ha ha,” lagi-lagi Sasya membuat orang melirik ke arahnya. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Psst! Kenceng banget, ih, ketawanya,” bisik Raiha sambil mencubit paha Sasya, membuat Sasya mengaduh.
“Aku ngebayangin Rifki botak, hi hi hi,” Sasya semakin terkikik, hingga keluar air dari sudut matanya.
“Kamu nih, enggak fokus. Masak malah ngebayangin Rifki botak,” Raiha menarik bibirnya membentuk senyuman. Ia ikut geli membayangkan hal yang sama.
“Eh, tapi beneran. Dewa kayaknya suka sama kamu. Waktu itu, aku pernah dengar ia ngobrol dengan seseorang, nyebut-nyebut nama kamu, loh,” Sasya kembali ke tema awal. “Tapi kalau menurutku, kamu jangan sampe suka sama dia, Rai. Dia, kan, playboy. Banyak banget ceweknya,” Sasya memandangi wajah Raiha lekat-lekat.
 “Darimana kamu tahu?” Raiha pura-pura tidak melihat. Pandangannya lurus ke depan, ke pepohonan rindang di kiri jalan. Sesekali tampak pedagang kaki lima yang dikerubungi pelanggan.
Ketika angkot berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang, Raiha melihat seorang tukang bakso sedang membuka panci besarnya. Aroma kaldu yang kental mampir di hidung Raiha, membuat ia menelan ludah saat membayangkan sedapnya semangkuk bakso di sore hari hujan seperti ini.
“Aku, kan, sering banget denger Dewa sedang merayu para cewek itu. Aku juga sering lihat dia jalan sama orang yang berbeda di mall,” Sasya menjawab yakin.
“Aku enggak akan masuk hitungan dia, kali, Sya. Tenang ajalah,” Raiha menyisihkan anak rambut yang hampir menusuk matanya.
“Ih, siapa bilang? Biasanya, cowok kayak Dewa, sukanya sama gadis angkuh dan cuek kayak kamu. Bukannya para gadis yang ngejar-ngejar dia,” Sasya semakin serius. Suaranya makin keras.
“Psst! Pelan-pelan aja ngomongnya, Bu. Terus maumu apa? Aku harus gimana?” Raiha melotot, pura-pura sewot.
“Kamu jauh-jauh deh, dari si Dewa. Kamu terlalu baik untuk dia,” Sasya memberikan saran. Melihat Raiha tak menanggapi, ia memukul-mukul paha Raiha, “Woi, denger enggak? Jangan mau diajak ke mana pun sama Dewa. Oke?”
“Siap, Mom!” Raiha menyerah. Ia tersenyum, mengerlingkan mata dan mengangkat tangannya menyerupai orang yang member hormat, membuat Sasya tersenyum puas.
Angkot berhenti beberapa kali untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Setengah jam kemudian, keduanya turun di sebuah gang. Menyusuri jalanannya yang hanya pas untuk dua mobil saja. Tak jarang Raiha tersenyum pada orang-orang yang ia temui. Menyapa mereka dan menganggukkan kepala.
Sasya mengamatinya dengan cermat. “Betul, kamu terlalu baik untuk Dewa. Jangan mau jadi pacarnya, ya!” pesannya lagi.
Raiha tersenyum simpul.
oOo
“Betul, Ris. Mata kakak jeli soal Jayden. Jangan meragukan Kakak untuk urusan ini,” ucap Raiha meyakinkan adiknya. Raiha sebenarnya enggan dan sudah bosan beradu mulut dengan Riska. Tapi jika Raiha menyinggung soal Jayden, Riska pasti emosi. Riska selalu membela Jayden, sementara Raiha yakin, Jayden bukan lelaki yang baik untuk adiknya. Hingga mereka seringkali bertengkar.
Seperti malam itu. Riska baru saja datang dari kampus. Baru melepas sepatunya, bahkan belum sempat meletakkan tas punggungnya yang tampak berat. Ia mengeluhkan tugas yang menumpuk akhir-akhir ini. “Emang berapa kali Kakak melihat Jayden sama cewek lain?” Riska menantang.
“Sekali, tapi Kakak sangat yakin,” seru Raiha yang sedang duduk di sofa. Di tangannya tampak remote tivi beberapa kali ditekan tombolnya.
“Sekali itu bukan jaminan, Kak. Baru saja kemarin Kakak cerita kalau kakak salah lihat orang. Dan penglihatan Kakak yang suka salah itu, tak hanya sekali. Berkali-kali. Riska yakin, Kakak juga salah lihat waktu itu,” Riska mulai ngotot.
Raiha menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan untuk menekan emosinya. Ia tidak mau terpancing lalu akhirnya memarahi adik yang disayanginya itu. Ia ingat benar sikap Mama, yang sabar menghadapi mereka bertiga. Raiha ingin sesabar Mama.
“Riska, duduklah dulu. Kita ngobrol baik-baik,” Raiha bangkit, hendak meraih tangan adiknya untuk diajak duduk berdua di sofa orange kesayangan mereka.
Riska menepis tangan Raiha dengan kasar, lalu menggeser tempat berdirinya, semakin menjauhi Raiha. Suara napasnya yang memburu tak bisa disembunyikannya.
“Riska sudah besar, Kak. Riska tahu yang terbaik untuk Riska!” Riska berusaha mengakhiri percakapan tentang Jayden dengan kalimat pamungkasnya. Berharap Raiha diam dan tak lagi mengusiknya. Ia melangkah menuju kamar.
Bukannya diam, Raiha malah mengomel, “Ya, kamu memang sudah besar. Tapi itu hanya badanmu saja. Kamu terlalu lugu sampai-sampai enggak tahu kalau dibohongin Jayden,” Raiha tak lagi dapat menahan kekesalannya menghadapi adiknya yang berwajah ayu itu. “Kakak heran, kok bisa, ya, Mama sabar ngadepin kamu.”
“Apa maksud Kakak? Kakak bilang Riska bandel? Enggak nurut sama Mama?” suara Riska kian meninggi.
“Terus, apa namanya kalau dikasih tahu ngotot begitu?” Raiha melengkingkan suaranya. Diminumnya segelas jeruk dingin sekali tenggak. Sesekali matanya melirik Riska yang masih berdiri sambil memegangi tas di dekat pintu.
“Riska akan bilang ke Mama karena Kakak sudah memarahi Riska tiap hari!” Riska mengancam.
“Ayo kalau berani. Mengadulah! Dan Kakak akan cerita soal kelakuanmu akhir-akhir ini!” Raiha tak mau kalah.
“Kakak diktator!” Riska berlari ke kamar dan menutup pintunya dengan kencang, setelah memaki kakaknya. Suara tangisnya terdengar hingga menembus pintu.
oOo  




Sunday 10 February 2013

BAB 1 --tugas KAJOL edited--


Dua Sketsa

Berawal dari Dear Café
Rifki berdiri tegak di sudut timur kafe. Dari balik kacamata minusnya, ia menyapu seluruh bagian ruangan berukuran lima belas kali dua puluh meter itu. Empat orang pelayan hilir mudik memenuhi pesanan pelanggan. Mencatat permintaan mereka dan mengantarkan makanan serta minuman. Arni, pelayan Dear Cafe,  sedang menambahi makanan yang ada di meja buffet. Sementara pelayan lainnya sibuk mengangkat piring dan gelas kotor.
“Iyan! Meja lima belas. Bersihkan, ya," pinta lelaki bertinggi 178 cm itu dengan halus pada seorang pelayan.
Iyan bergegas membenahi meja kotor yang ditunjuk Rifki.
Suasana Dear Café cukup ramai meski hujan kian deras. Beberapa pengunjung memilih duduk berlama-lama di dalam kafe yang dilengkapi pendingin ruangan itu, dibandingkan kembali ke kantor dan terkena empasan air hujan di luar sana. The Moment-nya Kenny G mengalun lembut, mengelus gendang telinga. Wifi dengan kecepatan tinggi membuat banyak pengunjung terlena.
Rifki tersenyum sendiri. Lelaki yang gemar memakai t-shirt warna terang dan celana jeans biru itu beringsut dari tempatnya berdiri lalu masuk ke ruang kerjanya, di sudut kafe yang bersebelahan dengan dapur.  
Ruangan itu tak seberapa besar. Hanya empat meter persegi. Sebuah meja kerja minimalis yang dilengkapi kursi putar warna biru langsung menyambut siapa pun yang masuk ke dalamnya. Di atas meja, Sony Viao menyala, dengan laporan dan grafik penjualan terbaca di layarnya. Mouse warna hitam, terletak di sebelah kanan, sesekali berkedip lampunya.
Rifki bersandar ke kursi. Diputarnya kursi warna biru itu ke kanan dan kiri, saat mempelajari laporan penjualan beberapa bulan ini. Sejak Dear diserahkan Bunda kepadanya, ia berusaha disiplin mencatat setiap perkembangan yang terjadi. Baik dari sisi manajemen maupun keuangan. Beruntung ia mendapatkan semua ilmu itu semasa kuliah.
Di pojok ruangan tampak sebuah lemari besi seukuran pinggang orang dewasa, berjajar dengan rak berisi buku-buku dan fail. Beberapa dari buku-buku itu adalah novel berbagai genre. Rifki biasa membacanya ketika waktunya sedikit longgar.
Dari ruang kerjanya yang dikelilingi kaca riben, Rifki leluasa mengamati aktivitas pelayan dan pengunjung. Dari sekian meja yang disediakan, hanya dua yang kosong. Lainnya penuh  terisi sekelompok orang atau para pasangan berbagai usia. Hanya ada dua orang yang tampak sendirian, sibuk dengan gadget dan makanan di piring.
Sebagian besar dari para pengunjung itu adalah pelanggan tetap. Beberapa di antaranya orang-orang baru. Semua terlihat menikmati santapannya. Melihat wajah-wajah sumringah dan lahapnya mereka makan, Rifki menyimpulkannya sebagai tanda kepuasan pelanggan.
Tiba-tiba ada sedikit keributan muncul dari pintu utama. Serombongan gadis berbaju hijau muda bercelana hitam, masuk dari balik pintu. Derai tawa dan teriakan manja membuat hampir seluruh mata memandang ke arah mereka.
Rifki melongokkan kepalanya untuk mempertajam penglihatannya.  
“Geng ceriwis. Tambah satu orang,” desisnya perlahan.
Rifki asal menamai para gadis itu karena sepanjang di kafe, mereka tak berhenti bicara dan tertawa. Sepertinya, apapun akan menjadi lucu bagi mereka. Selain itu, mereka juga tak pernah absen menanyakan keberadaannya pada Dion, kasir kafe. Lalu, jika ia ada, mereka akan keluar kafe beberapa menit menjelang jam istirahat kantor habis. Hanya untuk menungguinya menggantikan Dion yang sedang sholat. Selanjutnya,  mereka akan berebut membayar lebih dulu, dengan alasan takut telat masuk kantor.
Rifki tersenyum simpul mengingatnya.
Ia terkenang kembali saat kuliah, ketika teman-teman perempuannya melakukan hal yang sama. Menanyakan kabar setiap kali berjumpa, meminta diajari presentasi ini dan itu, bertukar dengan teman lain agar bisa sekelompok dengannya, hingga melakukan tindakan konyol sekedar untuk dekat dengannya.
Sayangnya Rifki tak pernah tertarik pada seorang pun di antara mereka. Yang terpenting baginya waktu itu adalah lulus kuliah dengan cepat dengan prestasi terbaik. Dan Rifki berhasil meraihnya.
Mungkin itu sebabnya hingga banyak yang menyayangkan keputusannya mengelola kafe ini. Mereka bilang, peluang Rifki untuk sukses di luar sana jauh lebih besar.
“Posisimu juga lebih keren, Rif,” rayu Bita suatu hari, ketika menawarinya bekerja di hotel milik papanya.
Rifki menolak dengan halus. Ia bersikukuh mengelola Dear Café yang hampir ditinggalkan Bunda.
“Bunda memang sayang sama Dear. Kafe itu yang membantu perekonomian kita saat Ayah sekolah lagi dan kalian masih kecil-kecil. Kafe yang penuh kenangan, yang Bunda dirikan sepenuh cinta. Tapi sekarang anak-anak Bunda sudah besar. Mbak Rikha sibuk mengajar, dan Mbak Iza sibuk dengan butiknya. Enggak mungkin, kan, Bunda meminta kamu untuk mengelolanya? Kamu, kan, anak laki-laki. Itulah sebabnya Bunda berpikir untuk menjual Dear pada Mama Dira, sahabat Bunda. Biar Dear kian berkembang dan terus membesar,” jelas Bunda hari itu.
“Tapi nanti Dear akan diganti nama jadi Kedai Mama Dira, Bun,” Rifki memberi pertimbangan.
“Tak apalah, Rif. Yang penting Dear pernah ada. Kalau soal ganti nama, apa artinya?” pungkas Bunda.
Maka beberapa menit kemudian, ia mengungkapkan sebuah keputusan yang luar biasa. Rifki menawarkan diri untuk mengelola kafe itu. Bunda terperanjat, senang sekaligus khawatir.
“Bunda senang mendengarnya, Rif. Tapi pasti Ayah tidak setuju. Lagian, ini kafe, lho Nak. Bukan perusahaan yang keren seperti impian anak-anak muda jaman sekarang. Kamu harus paham seluk belum makanan,” ungkap Bunda.
“Rifki tahu, Bun. Rifki kan sudah sering ikut Bunda ke kafe. Insya Allah, Rifki mampu. Lagian, kan ada Bunda yang akan terus mendampingi Rifki. Bunda yang akan memastikan kualitas masakannya tetap sama seperti dulu, oke?” seru Rifki optimis.
Dan malam harinya, mereka berdua mengungkapkan hal itu pada Ayah.
“Rifki, ditelepon dari tadi kok enggak diangkat, Sayang? Bunda mau tanya sesuatu,” tiba-tiba Bunda sudah ada di sampingnya. Merangkul pundaknya sambil memerhatikan layar laptop Rifki.
“Maaf, Bun. HP Rifki silent. Bunda, kan, bisa menelepon ke kafe?”
“Bunda paham kamu, Sayang. Kamu, kan, paling enggak mau membicarakan soal pribadi dengan telepon kafe,” tukas Bunda sembari membetulkan kerudung ungu mudanya. Di usia menjelang lima puluh lima, Bunda tetap tampak cantik dan awet muda.
“Bunda mau tanya apa?” Rifki memandang Bunda penuh tanya.
“Eh, beneran Bunda boleh bicara di sini?” Bunda celingukan, seolah takut terdengar orang lain.
Melihat tak ada seorang pun di dekatnya, Rifki mengangguk.
“Soal pertaruhanmu dengan Ayah! Kamu serius?” Bunda berbisik.
Rifki tersenyum sebelum kembali mengangguk.
“Tuh kan! Kamu pasti makin sibuk, deh, sesudah ini. Lalu kapan Bunda dapat menantu, Rif?” Bunda setengah berteriak. Tampak sedikit emosi melihat anggukan dan senyum Rifki.
“Sabar, lah, Bun. Rifki masih dua puluh empat. Masak udah sibuk disuruh kawin?”
“Ya, kalau enggak kawin, minimal tunangan, kek. Tuh, dua orang kakakmu juga menikah umur dua puluh empat. Bunda pengen punya cucu dari kamu, Rif!”
“Bunda makin ngacau, deh. Menikah saja belum sudah disuruh ngasih cucu. Nanti kalau dapat cucu di luar nikah, baru deh tau,” celetuk Rifki asal, yang langsung dicubit Bundanya.
Wis! Kamu kalau ngomong ngawur, deh! Ntar ada malaikat lewat, amit-amit, ah, Rif! Bunda maunya keturunan yang baik-baik!” Bunda sewot.
Rifki tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang putih.
“Habis Bunda, sih. Sudahlah, Bun. Yang penting sekarang, doakan Rifki bisa membuktikan ke Ayah kalau pilihan Rifki benar. Penjualan Dear dalam satu tahun ke depan, minimal tiga kali lipat lebih besar dari tahun lalu. Terus, dua tahun ke depan sudah punya cabang di tempat lain,” ujar Rifki optimis. Dielusnya pundak Bunda dengan lembut.
“Terus, kamu menikahnya kapan?” Bunda menatap dengan pandangan memelas.
“Ya nanti, Bun. Kalau sudah ada calonnya,” seru Rifki acuh. Ia mengangat tangannya menyerupai gerakan orang sholat lalu pergi ke mushola di samping kafe.
Bunda membuntutinya sambil cemberut.
Usai sholat, Rifki biasa menggantikan Dion. Memberikan kesempatan pada kasirnya yang lulusan SMK Keuangan itu untuk menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta.
“Mas Rifki, Farah makan nasi putih, cah kangkung cumi, ayam goreng kunyit dan minumnya fresh melon. Berapa?” seorang gadis berambut lurus sebahu sudah berada di depannya, begitu Rifki berdiri di belakang meja kasir.
Di belakang Farah ada empat gadis lain yang berebut ke depan lebih dulu.
“Dua puluh lima, Farah. Terima kasih.”
Rifki menerima uang lima puluh ribu dari tangan Farah, membuka laci mesin penghitung lalu mengangsurkan kembalian sambil tersenyum tipis.
Selanjutnya giliran Desti, Vero, Torry, dan seorang gadis lain yang tidak menyebutkan namanya.
“Saya nasi goreng seafood,” ucapnya pendek. Kepalanya lebih banyak menunduk.
“Minum?” Rifki bertanya singkat. Mengamati gadis yang menurutnya aneh itu.
“Enggak, saya bawa air sendiri,” jelasnya, kali ini memandang ke depan tapi bukan menatapnya.
Rifki tersenyum kecil mendengar penjelasan si gadis. Enggak usah bilang, kali, serunya dalam hati.
Setelah membayar lunas tagihannya dan mengucapkan terima kasih, para gadis itu pun pergi. Hingga di pintu keluar, mereka masih beberapa kali menengok ke arahnya, kecuali seorang gadis yang sedari tadi terlihat acuh.
Rifki mengalihkan perhatiannya pada sepasang pelanggan yang sudah berdiri di depannya. Menghitung jumlah tagihan dan melakukan tugasnya sebagai seorang kasir.
-*-*-
Malam kian larut ketika Rifki mengunci kafenya. Ia melakukan gerakan membuka pintu beberapa kali, memastikan diri bahwa pintu jati itu sudah terkunci. Oakley di tangan menunjukkan pukul sebelas lewat dua menit. Rifki menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.
Ia mundur beberapa langkah agar bisa melihat keseluruhan bangunan kafe.
Dear Café kebanggaannya. Buka dari pukul sembilan pagi hingga sembilan malam. Berbagai masakan rumahan tersedia di sana. Beberapa menu makanan asing juga tersedia sesuai pesanan pelanggan.
Setelah beberapa menit mematung di depannya, Rifki berbalik badan lalu berjalan ke pos satpam. Disalaminya Pak Tris sebelum bergegas menuju parkir.
Suasana parkir mulai sepi. Hanya tiga buah mobil yang berjauhan letaknya serta dua motor Honda keluaran terbaru. Rifki membuka Toyota Corolla keluaran 1985 miliknya. Mobil pertama keluarganya itu sengaja ia pertahankan. Ia menolak tawaran Ayah untuk mengganti mobilnya dengan yang lebih baru.
“Nanti,Yah…, kalau Dear sudah makin besar, insya Allah, Rifki akan menggantinya,” ucapnya malam itu, penuh keyakinan.
Ayah tersenyum bangga melihat tekad anak lelaki satu-satunya itu.
Sementara Bunda malah mengomel, khawatir dengan keselamatan Rifki karena kondisi mobil yang sudah tua.
Rifki menyalakan mesin mobil, menginjak kopling kuat-kuat untuk memindah persneling lalu menurunkan hand brake.Selanjutnya, perlahan ia melepaskan kopling seiring dengan kaki kanannya yang mengingak gas.
Toyota berwarna putih itu mulai bergerak perlahan, menyusuri jalanan kota Malang. Rifki menyalakan radio. Suara Koko Savaras, sahabat sekaligus penyiar favoritnya berganti dengan hentakan The Script featuring Will. I.Am. Rifki ikut bernyanyi.
You can throw your hands up/You can beat the clock
You can move a mountain/You can break rocks
You can be a master/Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself

Standing in the hall of fame
And the world's gonna know your name
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)
Ingatan Rifki melayang pada Dear. Ia tidak menyalahkan keluarga dan kawan-kawannya yang meragukan keputusannya. Resiko berkarier di luar sana memang lebih kecil. Ia pun tak perlu bekerja sekeras sekarang. Cukup eight to five tiap hari. Tapi keputusannya sudah bulat. Dan ia akan membuktikan bahwa suatu hari, dunia akan mengenalnya.
Meski banyak kendaraan menyalipnya, Rifki tak berusaha menyusul mereka. Tiga puluh kilometer per jam, ia rasa cukup. Inilah momen santai buatnya, setelah kesibukan tanpa henti di kafe. Di lampu merah, Rifki memilih berbelok ke kiri, melalui Jalan Ijen. Rute yang biasa ia ambil jika ingin sampai rumah lebih lama.
Rifki membuka jendela. Membiarkan angin dingin menyapu wajahnya. Sesekali tangan kirinya tampak menggosok-gosok hidungnya yang gatal, atau mengusap rambutnya ke belakang. Barisan pohon palem di kanan kiri jalan melambai daunnya ditiup angin. Beberapa meter sebelum ia mengarahkan mobil ke kanan untuk U turn, dilihatnya seorang gadis berdiri di atas trotoar.
Rifki merasa mengenal sosok gadis berambut panjang yang sedang mendekap map di dadanya itu. Ia pun menepikan mobilnya dan berhenti di bahu jalan. Sengaja ia tidak mematikan mesin. Rifki mengerutkan kening dan mengetuk-ngetuk setir tanda sedang berpikir keras.
“Oh iya, dia!” serunya sebelum keluar.
“Malam. Mbak yang kerja di akuntan publik dekat Dear Café, kan?” tanya Rifki sesaat setelah berada di depan gadis itu.
Yang ditanya langsug mengangguk cepat, hingga poninya jatuh menutup dahi dan sebagian mata. Setelah memindahkan map ke tangan kiri, dengan sedikit gugup, gadis berpostur semampai itu segera membenahi rambutnya.
“Kok di sini, Mbak? Nunggu angkot?" tanya Rifki penasaran.
“Iya. Angkot saya pecah ban,” tuturnya dengan suara yang sangat lirih. Jika tangan gadis itu tak menunjuk ke arah angkot di depannya, Rifki pasti bertanya lagi untuk memperjelas pendengarannya.
“Rumahnya di mana?” Rifki bertanya lagi, “maksud saya, bareng saya saja.” Entah tertular atau bagaimana, Rifki mendadak ikutan gugup.
“Di daerah Arjosari, Mas,” gadis itu melihat ke depan, tapi bukan pada Rifki. Selanjutnya, ia malah menjepit map dengan dagunya agar tangannya bebas membetulkan ikatan rambutnya.
Rifki sempat melihat mata bola sang gadis.
“Jam segini angkot jarang lewat, Mbak. Bareng sama saya saja. Kebetulan rumah saya sejalur,” ajak Rifki. Ia menunjuk mobil putihnya.
Tiba-tiba datang seseorang bermotor.
“Raiha! Kok masih di sini?” tanyanya, tanpa memedulikan Rifki.
“Dewa?” Raiha terbelalak. Matanya tampak makin bulat.
“Eh, malah bengong. Kenapa atuh?” Dewa tak sabar.
“He-eh, angkotku pecah ban!” seru Raiha.
“Ayo atuh, bareng aku saja!” tanpa meminta persetujuan, Dewa langsung mengulurkan helm ke tangan Raiha.
Beberapa saat Raiha tampak bimbang. Sekilas ia sempat bertatapan dengan Rifki tapi sedetik kemudian sudah duduk di atas jok motor Dewa.
Dua orang itu pun berlalu begitu saja, tanpa satu patah kata pun pada Rifki.
Rifki yang ditinggal sendiri, kembali ke mobil, menutup pintunya dengan kencang lalu menginjak gas kuat-kuat.
-*-*-
Raiha menepuk pundak Dewa ketika sampai di sebuah gang.
“Turun sini saja, Wa,” teriaknya.
Dewa berhenti, tanpa mematikan mesin motornya.
“Loh, rumah kamu, kan, masih jauh, Rai. Dua gang lagi, kalau enggak salah. Kok turun sini?” protesnya.
“Enggak, Wa. Aku ada perlu ke rumah Budhe. Dekat sini, kok!” jawabnya sambil menggosok-gosok hidungnya yang mancung. Kali ini Raiha terpaksa berbohong. Ia tak ingin tetangganya berbicara yang tidak-tidak karena mendapatinya pulang larut dengan seorang lelaki.
“Malam-malam begini? Yang bener, lu!” sergah Dewa, seolah tahu kebohongan Raiha.
Tanpa menatap mata Dewa, Raiha mengangguk cepat.
Euleuh, eta poni! Dipotong atuh, Neng. Apa enggak sakit nyocok mata begitu? Sama sekalian rambutmu udah kepanjangan tuh,” ujarnya sok perhatian.
“Aku pamit dulu, ya, Wa. Thank’s a lot tumpangannya,” ucap Raiha. Ia tak memedulikan Dewa yang memanggil-manggil namanya. Raiha terus berjalan memasuki gang sempit.
-*-*-
Rifki berbelok ke halaman sebuah rumah tanpa pagar. Tulisan Culster Boulevard B2/405 terlihat jelas di kotak surat, di pinggir taman mungil. Rifki memarkir mobilnya di halaman. Dilihatnya garasi sudah tertutup rapat, dan lampu di dalam rumah sudah padam.
Rifki mengecek kembali pintu mobilnya satu per satu. Sudah lama central lock mobil itu tidak berfungsi. Rifki merasa itu bukan masalah penting saat ini. Setelah melihat ke sekeliling dan merasa aman, Rifki membuka pintu samping dengan kunci yang diambilnya dari dalam tas laptop.
Ceklik!
Pintu terbuka. Rifki memasuki rumah tanpa bersuara. Sesampai di kamar, ia segera meletakkan tasnya, mengambil smartphone dari saku celana lalu meletakkannya di meja. Setelah melepas t’shirt biru mudanya, ia menggantinya dengan kaos tanpa kerah warna putih.
Masih tanpa suara, Rifki melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Menggosok gigi, cuci muka dan membersihkan badan. Sebelum kembali ke kamar, Rifki mampir ke dapur. Berniat mengambil sebotol besar air putih dingin.
“Baru datang, Rif?” tiba-tiba Bunda sudah ada di belakangnya.
“Iya, Bun. Bunda belum tidur?”
“Kebangun. Haus. Gimana kafe?” jawab Bunda sekaligus bertanya.
“Alhamdulillah, Bun. Seharian hampir selalu penuh. Tadi Rifki cek laporan, penjualan reguler juga sudah melebihi total penjualan bulan lalu,” jelasnya. Rifki mengikuti Bunda yang duduk di tepi kolam kecil, di sebelah dapur. Diamatinya ikan koi yang berenang ke sana kemari.
“Alhamdulillah. Padahal ini baru pertengahan bulan, ya,” ujar Bunda sambil menatap Rifki lekat.
“Iya, Bun,” tanggap Rifki dengan suara parau.
“Kamu capek, tuh. Suaramu serak. Lihat, matamu juga merah,” Bunda masih melihat Rifki dengan intens.
Rifki tersenyum samar lalu menggeleng ringan.
“Ada yang mau kamu ceritakan ke Bunda, Rif?” Bunda menyelidik.
Rifki melempar kerikil ke dalam kolam, “Ehm, ada sedikit Bun. Kriteria calon menantu bagi Bunda seperti apa?”
“Oh, soal taruhan dengan Bunda tadi siang? He he he. Kirain apa. Bunda hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Nak. Kamu yang sebaik ini, pasti akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Ikuti kata hatimu, ya,” jawab Bunda dengan tatapan penuh kasih. “Tidurlah. Kamu perlu istirahat. Doa Bunda di nadimu,” lanjutnya.
Rifki meraih tangan Bunda, menciumnya takzim lalu pamit ke kamar. Sebesar itu, Rifki memang masih mengandalkan feeling Bunda untuk memutuskan banyak hal.
            -*-*-   
Raiha: a hectic day
Hari ini aku pulang telat. Banyak pekerjaan yang harus kutangani di kantor karena Melur sakit. Syukurlah semua selesai, meski harus lembur.
Pas pulang, angkot yang kami tumpangi pecah ban. Campur aduk rasanya antara kasihan dan sebel. Kasihan karena pak sopirnya sudah sepuh, Enggak tega lihatnya. Tapi sebelnya, ban sudah halus begitu enggak diganti. Mana enggak ada cadangan ban, lagi. Nekat banget. Akhirnya kami semua diturunkan di Ijen. Hanya dengan permintaan maaf. Karena kasihan, kami semua membayar penuh meski belum sampai tujuan.
Untung hujan udah reda. Kalau enggak, di mana aku harus berteduh? Ijen malam-malam begitu, tahu sendiri, kan, kayak apa? Sepi. Angkot munculnya kayak jaelangkung, sesuka hati. Satu jam satu pun enggak ada jaminan.
Dah gitu, enam penumpang yang bareng aku langsung ngontak keluarga dan teman masing-masing. Dalam hitungan menit, semua sudah dijemput. Aku? Celingak celinguk kayak kambing congek. Pengen nangis rasanya! Mau nelepon, enggak tahu ke siapa. Ke adik-adik, mereka pasti dah molor. Cowok, enggak punya. Teman…, para cewek itu? Sama parnonya denganku. Pasti enggak ada yang mau jemput aku.
Syukur, akhirnya datang seseorang. Dia nanya-nanya sok akrab, seperti sudah pernah ketemu sebelumnya. Dan dia tahu aku kerja di kantor Bu Anita. Dia juga sempat nyebut-nyebut Dear Café. Dari mobilnya yang butut, kutebak, dia salah seorang pelayan di sana.
Tadinya, aku dah pasrah mau ikutan dia. Tapi tiba-tiba datang si Dewa. Asisten Pak Satria, orang bagian non-atestasi1). Meski sempat bingung, akhirnya aku milih ikut Dewa. Tapi setelah ingat cerita Sasya bahwa Dewa itu playboy, aku jadi nyesel ikut dia. Apalagi Sasya bilang, kalau belakangan Dewa sering ngomongin aku. Jangan-jangan, dia kira aku ada hati. Duh…
Ngomongin playboy jadi inget Rhea. Apa kabarnya Jayden yang suka ngejar-ngejar dia? Sudah seminggu ini Rhea enggak curhat lagi sama aku. Apa dia marah, ya?
“Kakak pasti salah lihat. Kita semua tahu, kalau kakak enggak pernah perhatian sama cowok. Beberapa kali Kakak salah lihat, kan?” Sore itu, Rhea tidak terima ketika aku mengatakan Jayden jalan dengan cewek lain.
Maafkan Kakak, ya Rhe. Kakak akui, memang sering salah lihat. Jarang perhatian sama para lelaki itu. Tapi kali ini Kakak yakin banget, bahwa yang merangkul seorang gadis seusiamu di mall itu adalah Jayden. Tahi lalat di pipi kanannya adalah tanda yang nyata.
Kakak hanya ingin menjagamu, Dik. Sejak Mama dan Papa harus bekerja di Johor, Kakaklah yang bertanggung jawab terhadap kalian berdua. Kita harus menjadi contoh yang baik untuk si bungsu Rayna.
Dan kita harus terus menjaga diri agar tetap menjadi gadis yang baik. Percayalah, kelak, akan datang tiga pangeran impian kita. Kelak, kita bertiga akan membuat Mama dan Papa bangga.
oOo

1)      Jasa non-atestasi, mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi (Wikipedia).