Pertemuan
Itu
Raiha: Tentang Dia
Malam
tadi aku kepikiran soal lelaki itu. Ia hanya terpaku ketika aku memutuskan
untuk ikut Dewa dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Harusnya, aku pamit
padanya. Atau setidaknya mengucapkan terima kasih atas niat baiknya.
Duh,
kenapa bisa lupa? Raiha… Raiha, jadi orang kok panikan begini?
Sekarang
semua sudah terjadi.
Ia
pasti menganggapku tak tahu diri. Tak tahu berterima kasih. Terus, kalau kami
bertemu lagi, apa yang harus kulakukan? Apa aku harus bilang kelupaan? Tidak.
Nanti dikiranya aku pelupa. Baiklah, kubilang saja aku buru-buru karena
kemalaman.
Tapi
yang jelas, aku tak akan pergi ke sana lagi. Aku harus bangun pagi biar bisa
masak dan bawa makan siang sendiri. Biar enggak perlu ke kafe itu untuk makan
siang. Jadi, kami tidak akan ketemu lagi. Tapi kalau kami ketemu di jalan kayak
semalam? Duhh…
Tugas Besar
Suasana
kantor akuntan publik Anita & Rekan terlihat sepi. Beberapa ruangan kosong,
ditinggalkan pemiliknya untuk rapat manajemen. Akhir bulan adalah waktu
evaluasi. Beberapa staf sedang tugas luar. Hanya ada empat yang tersisa di
kantor. Dewi, sang kasir sedang sibuk
dengan laporan cash flow kantor. Sedangkan
Raiha tampak serius di depan layar komputernya. Sesekali ia terlihat memeriksa
sebuah buku tebal, berisi laporan keuangan klien.
Bunyi
ketukan sepatu Bu Dhini memecah kesunyian. Suara langkahnya mendekati pantry.
Beberapa saat kemudian terdengar teriakan Bu Dhini memanggil-manggil Pak Maman
lalu berbalas dengan jawaban Pak Imran yang mengatakan Pak Maman sedang sakit.
Kini langkahnya mendekati ruang Raiha. Tepat di samping ruangan, perempuan
berkerudung merah itu melongokkan kepalanya ke bawah.
Kantor
itu memang menggunakan partisi sebagai pemisah setiap ruangannya. Menurut
pendirinya, mereka menerapkan system egaliter. Terbuka. Tak ada yang harus
dirahasiakan. Hanya ruang para manajer dan pemilik saja yang menggunakan
dinding, untuk menjaga privasi para pemimpin. Juga agar tidak ada yang tahu
kalau para manajer sedang menegur bawahannya.
“Raiha, boleh bantu saya?” suara Bu Dhini mengagetkan
Raiha yang sedang berkonsentrasi.
Raiha
menoleh, lalu berdiri menghadap Bu Dhini. “Boleh, Bu,” ucapnya santun. Sebagai
karyawan baru, ia memang harus siap mental disuruh membantu ini dan itu.
“Rapat
manajemen diperkirakan akan molor. Ada hal serius yang sedang dibahas dan kemungkinan
akan melewati jam makan siang. Boleh tolong belikan makan siang ke Dear Café?
Pak Maman enggak masuk hari ini karena sakit.” Permintaan Bu Dhini terdengar
ringan dan mudah, tapi membuat Raiha makin terperanjat.
“Dear
Café?” Matanya membola sesaat. Ia langsung teringat lelaki semalam.
“Iya,
yang di kompleks sini juga. Tahu, kan? Nanti Pak Dodo akan mengantar kamu.”
“I…
Iya, Bu. Tahu. Menunya apa, Bu Dhini?” Gugup.
“Terserah
kamu. Saya percaya seleramu,” jawab Bu Dhini sambil merapikan jilbabnya yang
mulai kusut.
“Baik,
Bu.”
“Makasih,
ya, Rai. Saya balik ke ruang rapat, ya. Kalau sudah datang, biar Daud yang
mengantar ke ruangan,” kata Bu Dhini sambil berlalu. Raiha memandangi atasannya
yang selalu berpenampilan mengagumkan itu hingga berbelok ke ruang rapat.
“Dear
Café? Duh, kenapa mesti aku?” gerutu Raiha. Masih berdiri, ia menyimpan fail di
komputer, menutupnya lalu mendorong laci keyboard ke dalam. Dengan berat,
dilangkahkan kakinya ke ruangan Dewi.
“Teh
Dewi, Raiha disuruh beli makan siang. Berapa bungkus biasanya?” Raiha melemparkan
tubuhnya ke kursi di depan Dewi.
“Kamu?
He he he. Iya, dua office boy kita, Pak Maman dan Pak Dwi, sakit barengan. Beli
lima belas saja, Rai. Nih uangnya,” jawab Dewi sambil membuka laci.
“Tunggu,
Teh. Raiha mau ambil tas dulu,” setengah berlari Raiha kembali ke ruangannya. Ia
meninggalkan Dewi yang sedang menyiapkan bukti pengeluaran uang.
“Mbak
Raiha, saya tunggu depan, ya,” Pak Dodo, sopir kantor sudah berada di
belakangnya ketika Raiha berbalik badan setelah mengambil tas.
“Sip,
Pak Dodo. Ups, dompet kelupaan,”
Raiha kembali ke belakang meja kerjanya, membuka laci lalu mengambil dompet. Tanpa
menunggu ia segera mengikuti PakDodo menuju parkir depan kantor.
oOo
Jam
makan siang, Dear Café selalu ramai. Hhh,
andai ada Torry and the gank, keluh Raiha begitu membuka pintu. Diedarkan
pandangannya, tampak sedang mencari seseorang. Ia terus waspada, khawatir sosok
itu muncul tiba-tiba.
Raiha
berjalan ke utara. Tempat meja buffet berada. Dikelilinginya meja yang merapat
ke dinding kafe itu, memperhatikan menu yang tersaji. Kepulan asap dari masakan
panas menguarkan bau sedap, membuat Raiha harus menelan ludah beberapa kali.
“Ada
yang bisa saya bantu, Mbak?” Raiha terperanjat. Refleks ditolehkan kepala ke
sumber suara.
“Huft, syukurlah,” ujarnya tanpa sadar.
“Iya,
Mbak?” pelayan dengan nama Rengga di dadanya itu mengernyit mendengar jawaban
Raiha.
“Oh,
enggak, Mas. Saya mau dibungkuskan nasi putih, oseng jamur paprika, ayam bacem
bakar dan tempe goreng, ya. Sambelnya jangan lupa,” jawabnya setelah memilih
menu.
“Baik,
Mbak. Buah dan minumnya?”
“Buahnya
jeruk mandarin saja. Minumnya enggak usah.”
“Siap,
Mbak. Silakan bayar di kasir. Nanti pesanan akan diantar ke mobil,” ujar Rengga
tanggap. Seolah tahu pasti bahwa Raiha datang diantar mobil.
Tanpa
komentar, Raiha berjalan menuju meja kasir.
DEG!
Dada
Raiha berdebar kencang ketika ia mendapati sosok yang dijumpainya semalam
berdiri di belakang meja itu. Sosok itu tersenyum padanya. Raiha membalas
kikuk. “Uh… eh, Mas yang semalam nawarin saya tumpangan, ya?” ucapnya basa
basi.
Lelaki
itu mengangguk ringan lalu mendatarkan wajahnya. Senyumnya tak tampak lagi.
“Maaf,
semalam saya buru-buru. Saya ditunggu adik-adik di rumah,” jelas Raiha tanpa
diminta.
“Makannya
apa, Mbak?” tanya lelaki itu tanpa menanggapi penjelasan Raiha.
Raiha
cemberut. Dengan ekspresi sebal, Raiha menyebutkan menu yang ia pesan tadi. Dan
agar tak lama-lama di depan lelaki itu, ia buru-buru mengambil dompetnya. Dicarinya
uang yang tadi diambilnya dari Dewi. Tak ada di dompet, ia pun mengubek-ubek
tas cangklong orangenya.
“Astaghfirullah!”
seru Raiha, refleks sambil menepuk dahi.
Tanpa
ekspresi, lelaki di balik meja kasir menulis nota lalu mengangsurkannya ke
Raiha, “Ambil duit saja dulu.”
Raiha
melongo melihat sikap sinis lelaki itu. Tanpa permisi, ia membalik badannya dan
bergegas ke tempat parkir. Sekilas dilihatnya nota di genggamannya. Dan ia
makin terkejut ketika mendapati nama yang tertera di bawah tanda tangan dan
stempel Dear Café: Rifki Rahadian.
“Rifki?
Pemilik kafe ini? Gawat! Kok aku bisa enggak perhatian sama dia. Kemarin kan
ketemu pas dia jadi kasir? Raiha… Raiha!” gumam Raiha. Didekapnya tas ke dada,
lalu dipercepat langkahnya menuju Panther hitam yang sudah menunggu.
“Sudah,
Mbak? Saya ambil makanannya dulu, ya,” ujar Pak Dodo begitu Raiha sampai dan
duduk di sebelahnya.
“Enggak
usah, Pak. Bentar lagi mereka anter, kok. Kita tunggu sini aja,” jawab Raiha
datar.
“Eh,
kok muka Mbak Raiha pucat begitu, sih? Mbak sakit?”
“Masak,
sih, Pak? Enggak kok,” jawab Raiha. Ia mengamati wajahnya di cermin tengah. Pasti gara-gara ketemu Rifki tadi,
pikirnya.
“Beneran!
Biasanya Mbak selalu segar meskipun enggak pernah pakai make up,” tanggap Pak
Dodo.
“Bukan
sakit. Habis melihat hantu,” jawab Raiha asal, membuat Pak Dodo mengerenyit.
“Siang-siang
begini? Di mana?”
“Di
dalam. Serem, hiii!” imbuh Raiha membuat Pak Dodo makin penasaran. Ketika akan
bertanya lagi, terdengar ketukan di kaca. Rengga muncul dengan senyum lebar.
Pak Dodo membuka pintu, menerima dua kresek besar berisi lima box nasi dan
memasukkannya ke bagasi.
“Makasih
sudah datang, ya, Mbak. Pak. Saya ke dalam dulu,” pamit Rengga ramah.
Raiha
mengangguk sambil tersenyum. "Tolong bilang ke Pak Rifki, nanti uangnya diantar Pak Dodo, ya," sahut Raiha saat ingat tentang pembayaran.
Rengga mengangguk cepat, tersenyum lalu pergi.
Rengga mengangguk cepat, tersenyum lalu pergi.
Mobil
mulai bergerak perlahan meninggalkan parkir Dear Café. Membawa serta pertemuan
tak terduga untuk kedua kalinya itu, dalam benak Raiha.
oOo
Menjelang
sore, kantor tempat Raiha bekerja kembali ramai. Torry dan Vero sudah datang
dari tugasnya di luar kantor. Para manajer pun tampak sibuk di ruangan
masing-masing. Dewa berjalan gontai melewati koridor kantor, bersiul ringan
sambil menengok ke kiri dan kanan. Sesekali mulut usilnya menggoda para gadis
yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tiba di samping ruangan Raiha, Dewa
berhenti. Ia melongok ke bawah, memerhatikan Raiha dengan intens.
Raiha
tak peduli.
“Serius
banget, sih, Neng? Nanti matanya sakit, loh, kalau terlalu dekat sama monitor,”
ucapnya sok perhatian. Khas Dewa.
Raiha
menoleh ke atas, lalu mengedikkan bahu.
“Eh,
diperhatiin kok cuek begitu?” Dewa kembali berkomentar.
“Iya,
makasih,” ucap Raiha ringkas.
Penasaran,
Dewa pun masuk ke ruangan berukuran sedang itu. Diseretnya kursi kantor
berwarna hijau tosca, lalu diletakkan tepat di depan Raiha. Beberapa lama
diamatinya gadis yang sedang sibuk mengetik itu.
Raiha
bergeming. Ia terus melakukan pekerjaannya tanpa memedulikan Dewa. Tabu baginya
mengobrol saat jam kantor.
“Raiha…
apa sih arti namamu?”
Raiha
diam. Tetap fokus pada laporan keuangan di samping kiri, keyboard di hadapannya
serta layar monitor yang menampilkan deretan angka-angka.
“Raiha
Sasmita. Pasti salah satu orang tuamu orang Sunda. Iya, kan? Siapa? Mama apa
Papa?” Dewa terus melancarkan serangan.
“Ehm,
nanti pulang bareng aku saja, ya. Kebetulan aku ada perlu ke arah rumahmu,”
akhirnya Dewa tak tahan untuk menyampaikan maksudnya.
“Tidak,
Wa. Makasih,” tolak Raiha cepat.
“Dewa!
Kamu nih, dicari Pak Satria, tuh!” tiba-tiba Farah sudah berada di belakang
Dewa.
“Emang
ada apa dengan Bos?” tanya Dewa balik.
Farah
menggeleng cepat, “Entah. Cepetan!”
“Iya…
iya! Bawel!” Dewa berdiri dari kursinya lalu berjalan tenang kembali ke
ruangannya.
Raiha melirik Dewa sekilas lalu tersenyum dan
mengacungkan jempolnya ke Farah, diikuti senyum penuh kemenangan. Tepat pukul
lima, ia membereskan mejanya. Laporan keuangan bersampul putih dimasukkan ke
laci fail. Berbagai alat tulis kantor dirapikan lalu dimasukkan ke mug yang patah
pegangannya, di ujung meja. Terakhir ia matikan komputer. Setelah memastikan
semua terletak pada tempatnya, Raiha berdiri. Menenteng tas dan berjalan menuju
pintu keluar.
“Raiha,
tunggu!” kali ini Sasya memanggilnya. “Kita pulang bareng, yuk. Aku mau ke
rumah tante, nih,” ujar Sasya sambil memegang lengan Raiha.
Raiha
menoleh sebentar lalu tersenyum sambil terus berjalan. “Boleh. Bulik Utami apa
kabarnya? Dah lama banget enggak tampak. Biasanya suka lihat Bulik pergi ke
pasar lewat depan rumahku. Pagi-pagi selepas Subuh.”
“Itulah,
Rai. Sudah sebulan ini Tante sakit. Ada saja sakitnya. Yang meriang, linu, atau
pun sakit perut. Kasihan Tante. Mbak Rahayu, anak semata wayangnya, kan, tinggal
di Jakarta ikut suaminya. Oom juga masih kerja lagi. Jadi Tante seringnya
sendirian. Bayangin deh, udahlah sakit… sendirian pula,” Sasya cerita panjang
lebar.
Mereka
sudah sampai di pertigaan dekat kantor. Menunggu angkot yang akan membawa
mereka pulang.
“Rai,
jalan ke sana, yuk! Di sini suka susah,” Sasya menarik tangan Raiha,
mengajaknya berjalan sekitar dua puluh meter ke arah Barat.
Raiha
menurut. Hatinya kebat kebit. Berjalan ke sana berarti mendekati Dear Café. Ia
masih ingat betul sikap Rifki yang dingin dan sinis tadi siang. Raiha bergidik
ngeri.
“Raiha,
mau mampir ke Dear?” Sasya menawari, membuat Raiha spontan menoleh ke kafe itu.
“Enggak,
kenapa?” Sesekali Raiha masih melirik. Mencari-cari mobil Toyota putih yang
semalam hampir dinaikinya.
“Enggak.
Dengar-dengar para gadis itu sedang memperebutkan perhatian Rifki, ya? Aku,
sih, minder duluan. Mana mungkin Rifki tertarik dengan cewek kayak aku,” Sasya
menunduk dalam-dalam.
“Ihh,
kok gitu, Sya? Meski sedikit berisi, kamu cantik, kok! Eh, lagian, jodoh itu
kan ditangan Tuhan. Siapa tahu Rifki jodohmu,” Raiha menyemangati.
Mata
Sasya mengerjap dan berbinar, lalu tersenyum lebar. Gigi putih berbekhelnya
terlihat. “Bener juga kamu, Rai. Jodoh itu misteri, ya, kan?”
Raiha
tersenyum lalu mengangguk. “Yuk, ah. Dah sore,” Raiha menyeret tangan Sasya
yang sibuk menarik bajunya yang terangkat karena sedikit kesempitan.
Dua
gadis itu pun segera naik angkot jurusan Arjosari-Dinoyo-Landungsari, begitu
mereka mendapatkannya.
“Raiha,
Dewa sering ke ruanganmu, ya?” Sasya mengganti topik pembicaraan begitu duduk
di angkot. Beberapa kali ia tampak menggeser posisinya, mencari sandaran yang
pas.
“He-eh,”
jawab Raiha singkat.
“Eh,
kayaknya dia naksir kamu, tuh. Hi hi hi,” Sasya terkikik, membuat lima orang
yang duduk di sekitar mereka menoleh melihatnya.
Raiha
ikut menoleh ke kanan, ke arah Sasya. Ia mengembuskan napasnya dengan cepat. “Kamu
ini. Sering datang ke ruangan udah dibilang suka. Gimana dengan Bu Dhini yang bolak
balik ke ruanganku? Suka juga?” Raiha pura-pura marah. Dirogohnya uang dari
dalam tas. Ada satu tempat di dalam tas itu yang khusus ia isi dengan uang
transport, seribuan dan lima ratusan. Sejak beberapa kali lupa membawa dompet
dan harus menanggung malu karena tak bisa membayar ongkos, Raiha selalu menjaga
tempat itu selalu terisi. Minimal lima ribu, dua kali ongkos bolak-balik. “Eh,
malah cekikikan!”
“Beneran,
Rai. Aku pernah lihat Dewa menulis namamu di kertas putih pas aku melintasinya.
Tempat dudukku dan dia kan deketan. Aku hampir selalu tahu aktivitasnya,” Sasya
meyakinkan. “Emang kamu enggak tertarik sama dia? Menurutku sih, lebih cakepan
Dewa dibandingkan Rifki-Rifki itu. Dewa lebih putih, dan kayaknya lebih tinggi.
Soal rambut, aku suka yang modelnya kayak Dewa. Lurus dan halus. Kalau Rifki
rambutnya…, ehm, gimana, ya? Menurut pengamatanku, dalam waktu sepuluh tahun ke
depan, cowok model Rifki akan botak, ha ha ha,” lagi-lagi Sasya membuat orang
melirik ke arahnya. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Psst!
Kenceng banget, ih, ketawanya,” bisik Raiha sambil mencubit paha Sasya, membuat
Sasya mengaduh.
“Aku
ngebayangin Rifki botak, hi hi hi,” Sasya semakin terkikik, hingga keluar air
dari sudut matanya.
“Kamu
nih, enggak fokus. Masak malah ngebayangin Rifki botak,” Raiha menarik bibirnya
membentuk senyuman. Ia ikut geli membayangkan hal yang sama.
“Eh,
tapi beneran. Dewa kayaknya suka sama kamu. Waktu itu, aku pernah dengar ia
ngobrol dengan seseorang, nyebut-nyebut nama kamu, loh,” Sasya kembali ke tema
awal. “Tapi kalau menurutku, kamu jangan sampe suka sama dia, Rai. Dia, kan,
playboy. Banyak banget ceweknya,” Sasya memandangi wajah Raiha lekat-lekat.
“Darimana kamu tahu?” Raiha pura-pura tidak
melihat. Pandangannya lurus ke depan, ke pepohonan rindang di kiri jalan.
Sesekali tampak pedagang kaki lima yang dikerubungi pelanggan.
Ketika
angkot berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang, Raiha melihat seorang
tukang bakso sedang membuka panci besarnya. Aroma kaldu yang kental mampir di
hidung Raiha, membuat ia menelan ludah saat membayangkan sedapnya semangkuk
bakso di sore hari hujan seperti ini.
“Aku,
kan, sering banget denger Dewa sedang merayu para cewek itu. Aku juga sering
lihat dia jalan sama orang yang berbeda di mall,” Sasya menjawab yakin.
“Aku
enggak akan masuk hitungan dia, kali, Sya. Tenang ajalah,” Raiha menyisihkan
anak rambut yang hampir menusuk matanya.
“Ih,
siapa bilang? Biasanya, cowok kayak Dewa, sukanya sama gadis angkuh dan cuek
kayak kamu. Bukannya para gadis yang ngejar-ngejar dia,” Sasya semakin serius.
Suaranya makin keras.
“Psst!
Pelan-pelan aja ngomongnya, Bu. Terus maumu apa? Aku harus gimana?” Raiha melotot,
pura-pura sewot.
“Kamu
jauh-jauh deh, dari si Dewa. Kamu terlalu baik untuk dia,” Sasya memberikan saran.
Melihat Raiha tak menanggapi, ia memukul-mukul paha Raiha, “Woi, denger enggak?
Jangan mau diajak ke mana pun sama Dewa. Oke?”
“Siap,
Mom!” Raiha menyerah. Ia tersenyum, mengerlingkan mata dan mengangkat tangannya
menyerupai orang yang member hormat, membuat Sasya tersenyum puas.
Angkot
berhenti beberapa kali untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Setengah jam
kemudian, keduanya turun di sebuah gang. Menyusuri jalanannya yang hanya pas
untuk dua mobil saja. Tak jarang Raiha tersenyum pada orang-orang yang ia
temui. Menyapa mereka dan menganggukkan kepala.
Sasya
mengamatinya dengan cermat. “Betul, kamu terlalu baik untuk Dewa. Jangan mau
jadi pacarnya, ya!” pesannya lagi.
Raiha
tersenyum simpul.
oOo
“Betul,
Ris. Mata kakak jeli soal Jayden. Jangan meragukan Kakak untuk urusan ini,”
ucap Raiha meyakinkan adiknya. Raiha sebenarnya enggan dan sudah bosan beradu
mulut dengan Riska. Tapi jika Raiha menyinggung soal Jayden, Riska pasti emosi.
Riska selalu membela Jayden, sementara Raiha yakin, Jayden bukan lelaki yang
baik untuk adiknya. Hingga mereka seringkali bertengkar.
Seperti
malam itu. Riska baru saja datang dari kampus. Baru melepas sepatunya, bahkan belum
sempat meletakkan tas punggungnya yang tampak berat. Ia mengeluhkan tugas yang
menumpuk akhir-akhir ini. “Emang berapa kali Kakak melihat Jayden sama cewek
lain?” Riska menantang.
“Sekali,
tapi Kakak sangat yakin,” seru Raiha yang sedang duduk di sofa. Di tangannya
tampak remote tivi beberapa kali ditekan tombolnya.
“Sekali
itu bukan jaminan, Kak. Baru saja kemarin Kakak cerita kalau kakak salah lihat
orang. Dan penglihatan Kakak yang suka salah itu, tak hanya sekali.
Berkali-kali. Riska yakin, Kakak juga salah lihat waktu itu,” Riska mulai
ngotot.
Raiha
menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan untuk menekan emosinya. Ia
tidak mau terpancing lalu akhirnya memarahi adik yang disayanginya itu. Ia
ingat benar sikap Mama, yang sabar menghadapi mereka bertiga. Raiha ingin
sesabar Mama.
“Riska,
duduklah dulu. Kita ngobrol baik-baik,” Raiha bangkit, hendak meraih tangan
adiknya untuk diajak duduk berdua di sofa orange kesayangan mereka.
Riska
menepis tangan Raiha dengan kasar, lalu menggeser tempat berdirinya, semakin
menjauhi Raiha. Suara napasnya yang memburu tak bisa disembunyikannya.
“Riska
sudah besar, Kak. Riska tahu yang terbaik untuk Riska!” Riska berusaha
mengakhiri percakapan tentang Jayden dengan kalimat pamungkasnya. Berharap
Raiha diam dan tak lagi mengusiknya. Ia melangkah menuju kamar.
Bukannya
diam, Raiha malah mengomel, “Ya, kamu memang sudah besar. Tapi itu hanya
badanmu saja. Kamu terlalu lugu sampai-sampai enggak tahu kalau dibohongin
Jayden,” Raiha tak lagi dapat menahan kekesalannya menghadapi adiknya yang
berwajah ayu itu. “Kakak heran, kok bisa, ya, Mama sabar ngadepin kamu.”
“Apa
maksud Kakak? Kakak bilang Riska bandel? Enggak nurut sama Mama?” suara Riska
kian meninggi.
“Terus,
apa namanya kalau dikasih tahu ngotot begitu?” Raiha melengkingkan suaranya. Diminumnya
segelas jeruk dingin sekali tenggak. Sesekali matanya melirik Riska yang masih
berdiri sambil memegangi tas di dekat pintu.
“Riska
akan bilang ke Mama karena Kakak sudah memarahi Riska tiap hari!” Riska
mengancam.
“Ayo
kalau berani. Mengadulah! Dan Kakak akan cerita soal kelakuanmu akhir-akhir
ini!” Raiha tak mau kalah.
“Kakak
diktator!” Riska berlari ke kamar dan menutup pintunya dengan kencang, setelah
memaki kakaknya. Suara tangisnya terdengar hingga menembus pintu.
oOo