Dua Sketsa
Berawal
dari Dear Café
Rifki berdiri tegak di sudut timur kafe. Dari balik kacamata minusnya, ia menyapu seluruh bagian ruangan berukuran
lima belas kali dua puluh meter itu. Empat orang pelayan hilir mudik memenuhi
pesanan pelanggan. Mencatat permintaan mereka dan mengantarkan makanan serta
minuman. Arni, pelayan Dear Cafe, sedang menambahi makanan yang ada di meja buffet. Sementara pelayan lainnya sibuk mengangkat
piring dan gelas kotor.
“Iyan! Meja lima belas. Bersihkan, ya," pinta lelaki bertinggi 178 cm itu dengan halus pada seorang pelayan.
Iyan bergegas membenahi meja kotor yang
ditunjuk Rifki.
Suasana Dear Café cukup ramai meski
hujan kian deras. Beberapa pengunjung memilih duduk berlama-lama di dalam kafe
yang dilengkapi pendingin ruangan itu, dibandingkan kembali ke kantor dan
terkena empasan air hujan di luar sana. The
Moment-nya Kenny G mengalun lembut, mengelus gendang telinga. Wifi dengan kecepatan
tinggi membuat banyak pengunjung terlena.
Rifki tersenyum sendiri. Lelaki yang
gemar memakai t-shirt warna terang dan celana jeans biru itu beringsut dari
tempatnya berdiri lalu masuk ke ruang kerjanya, di sudut kafe yang bersebelahan
dengan dapur.
Ruangan itu tak seberapa besar. Hanya
empat meter persegi. Sebuah meja kerja minimalis yang dilengkapi kursi putar
warna biru langsung menyambut siapa pun yang masuk ke dalamnya. Di atas meja,
Sony Viao menyala, dengan laporan dan grafik penjualan terbaca di layarnya.
Mouse warna hitam, terletak di sebelah kanan, sesekali berkedip lampunya.
Rifki bersandar ke kursi. Diputarnya
kursi warna biru itu ke kanan dan kiri, saat mempelajari laporan penjualan
beberapa bulan ini. Sejak Dear
diserahkan Bunda kepadanya, ia berusaha disiplin mencatat setiap perkembangan
yang terjadi. Baik dari sisi manajemen maupun keuangan. Beruntung ia
mendapatkan semua ilmu itu semasa kuliah.
Di pojok ruangan tampak sebuah lemari
besi seukuran pinggang orang dewasa, berjajar dengan rak berisi buku-buku dan fail.
Beberapa dari buku-buku itu adalah novel berbagai genre. Rifki biasa membacanya
ketika waktunya sedikit longgar.
Dari ruang kerjanya yang dikelilingi
kaca riben, Rifki leluasa mengamati aktivitas pelayan dan pengunjung. Dari sekian
meja yang disediakan, hanya dua yang kosong. Lainnya penuh terisi sekelompok orang atau para pasangan
berbagai usia. Hanya ada dua orang yang tampak sendirian, sibuk dengan gadget dan makanan di piring.
Sebagian besar dari para pengunjung itu
adalah pelanggan tetap. Beberapa di antaranya orang-orang baru. Semua terlihat
menikmati santapannya. Melihat wajah-wajah sumringah dan lahapnya mereka makan,
Rifki menyimpulkannya sebagai tanda kepuasan pelanggan.
Tiba-tiba ada sedikit keributan muncul
dari pintu utama. Serombongan gadis berbaju hijau muda bercelana hitam, masuk dari
balik pintu. Derai tawa dan teriakan manja membuat hampir seluruh mata
memandang ke arah mereka.
Rifki melongokkan kepalanya untuk
mempertajam penglihatannya.
“Geng ceriwis. Tambah satu orang,”
desisnya perlahan.
Rifki asal menamai para gadis itu karena
sepanjang di kafe, mereka tak berhenti bicara dan tertawa. Sepertinya, apapun
akan menjadi lucu bagi mereka. Selain itu, mereka juga tak pernah absen
menanyakan keberadaannya pada Dion, kasir kafe. Lalu, jika ia ada, mereka akan keluar
kafe beberapa menit menjelang jam istirahat kantor habis. Hanya untuk
menungguinya menggantikan Dion yang sedang sholat. Selanjutnya, mereka akan berebut membayar lebih dulu,
dengan alasan takut telat masuk kantor.
Rifki tersenyum simpul mengingatnya.
Ia terkenang kembali saat kuliah, ketika
teman-teman perempuannya melakukan hal yang sama. Menanyakan kabar setiap kali
berjumpa, meminta diajari presentasi ini dan itu, bertukar dengan teman lain
agar bisa sekelompok dengannya, hingga melakukan tindakan konyol sekedar untuk dekat
dengannya.
Sayangnya Rifki tak pernah tertarik pada
seorang pun di antara mereka. Yang terpenting baginya waktu itu adalah lulus
kuliah dengan cepat dengan prestasi terbaik. Dan Rifki berhasil meraihnya.
Mungkin itu sebabnya hingga banyak yang
menyayangkan keputusannya mengelola kafe ini. Mereka bilang, peluang Rifki
untuk sukses di luar sana jauh lebih besar.
“Posisimu juga lebih keren, Rif,” rayu Bita
suatu hari, ketika menawarinya bekerja di hotel milik papanya.
Rifki menolak dengan halus. Ia bersikukuh
mengelola Dear Café yang hampir
ditinggalkan Bunda.
“Bunda memang sayang sama Dear. Kafe itu yang membantu
perekonomian kita saat Ayah sekolah lagi dan kalian masih kecil-kecil. Kafe
yang penuh kenangan, yang Bunda dirikan sepenuh cinta. Tapi sekarang anak-anak
Bunda sudah besar. Mbak Rikha sibuk mengajar, dan Mbak Iza sibuk dengan
butiknya. Enggak mungkin, kan, Bunda meminta kamu untuk mengelolanya? Kamu,
kan, anak laki-laki. Itulah sebabnya Bunda berpikir untuk menjual Dear pada Mama Dira, sahabat Bunda. Biar
Dear kian berkembang dan terus
membesar,” jelas Bunda hari itu.
“Tapi nanti Dear akan diganti nama
jadi Kedai Mama Dira, Bun,” Rifki memberi pertimbangan.
“Tak apalah, Rif. Yang penting Dear
pernah ada. Kalau soal ganti nama, apa artinya?” pungkas Bunda.
Maka beberapa menit kemudian, ia
mengungkapkan sebuah keputusan yang luar biasa. Rifki menawarkan diri untuk
mengelola kafe itu. Bunda terperanjat, senang sekaligus khawatir.
“Bunda senang mendengarnya, Rif. Tapi
pasti Ayah tidak setuju. Lagian, ini kafe, lho Nak. Bukan perusahaan yang keren
seperti impian anak-anak muda jaman sekarang. Kamu harus paham seluk belum
makanan,” ungkap Bunda.
“Rifki tahu, Bun. Rifki kan sudah sering
ikut Bunda ke kafe. Insya Allah, Rifki mampu. Lagian, kan ada Bunda yang akan
terus mendampingi Rifki. Bunda yang akan memastikan kualitas masakannya tetap
sama seperti dulu, oke?” seru Rifki optimis.
Dan malam harinya, mereka berdua
mengungkapkan hal itu pada Ayah.
“Rifki, ditelepon dari tadi kok enggak
diangkat, Sayang? Bunda mau tanya sesuatu,” tiba-tiba Bunda sudah ada di
sampingnya. Merangkul pundaknya sambil memerhatikan layar laptop Rifki.
“Maaf, Bun. HP Rifki silent. Bunda, kan, bisa menelepon ke
kafe?”
“Bunda paham kamu, Sayang. Kamu, kan,
paling enggak mau membicarakan soal pribadi dengan telepon kafe,” tukas Bunda
sembari membetulkan kerudung ungu mudanya. Di usia menjelang lima puluh lima,
Bunda tetap tampak cantik dan awet muda.
“Bunda mau tanya apa?” Rifki memandang
Bunda penuh tanya.
“Eh, beneran Bunda boleh bicara di
sini?” Bunda celingukan, seolah takut terdengar orang lain.
Melihat tak ada seorang pun di dekatnya,
Rifki mengangguk.
“Soal pertaruhanmu dengan Ayah! Kamu
serius?” Bunda berbisik.
Rifki tersenyum sebelum kembali
mengangguk.
“Tuh kan! Kamu pasti makin sibuk, deh,
sesudah ini. Lalu kapan Bunda dapat menantu, Rif?” Bunda setengah berteriak.
Tampak sedikit emosi melihat anggukan dan senyum Rifki.
“Sabar, lah, Bun. Rifki masih dua puluh empat.
Masak udah sibuk disuruh kawin?”
“Ya, kalau enggak kawin, minimal
tunangan, kek. Tuh, dua orang kakakmu juga menikah umur dua puluh empat. Bunda
pengen punya cucu dari kamu, Rif!”
“Bunda makin ngacau, deh. Menikah saja
belum sudah disuruh ngasih cucu. Nanti kalau dapat cucu di luar nikah, baru deh
tau,” celetuk Rifki asal, yang langsung dicubit Bundanya.
“Wis!
Kamu kalau ngomong ngawur, deh! Ntar ada malaikat lewat, amit-amit, ah, Rif!
Bunda maunya keturunan yang baik-baik!” Bunda sewot.
Rifki tersenyum lebar, memamerkan
deretan giginya yang putih.
“Habis Bunda, sih. Sudahlah, Bun. Yang
penting sekarang, doakan Rifki bisa membuktikan ke Ayah kalau pilihan Rifki
benar. Penjualan Dear dalam satu tahun ke depan, minimal tiga kali lipat lebih
besar dari tahun lalu. Terus, dua tahun ke depan sudah punya cabang di tempat
lain,” ujar Rifki optimis. Dielusnya pundak Bunda dengan lembut.
“Terus, kamu menikahnya kapan?” Bunda
menatap dengan pandangan memelas.
“Ya nanti, Bun. Kalau sudah ada
calonnya,” seru Rifki acuh. Ia mengangat tangannya menyerupai gerakan orang
sholat lalu pergi ke mushola di samping kafe.
Bunda membuntutinya sambil cemberut.
Usai sholat, Rifki biasa menggantikan
Dion. Memberikan kesempatan pada kasirnya yang lulusan SMK Keuangan itu untuk
menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta.
“Mas Rifki, Farah makan nasi putih, cah
kangkung cumi, ayam goreng kunyit dan minumnya fresh melon. Berapa?” seorang gadis berambut lurus sebahu sudah
berada di depannya, begitu Rifki berdiri di belakang meja kasir.
Di belakang Farah ada empat gadis lain
yang berebut ke depan lebih dulu.
“Dua puluh lima, Farah. Terima kasih.”
Rifki menerima uang lima puluh ribu dari
tangan Farah, membuka laci mesin penghitung lalu mengangsurkan kembalian sambil
tersenyum tipis.
Selanjutnya giliran Desti, Vero, Torry,
dan seorang gadis lain yang tidak menyebutkan namanya.
“Saya nasi goreng seafood,” ucapnya pendek. Kepalanya lebih banyak menunduk.
“Minum?” Rifki bertanya singkat.
Mengamati gadis yang menurutnya aneh itu.
“Enggak, saya bawa air sendiri,”
jelasnya, kali ini memandang ke depan tapi bukan menatapnya.
Rifki tersenyum kecil mendengar
penjelasan si gadis. Enggak usah bilang,
kali, serunya dalam hati.
Setelah membayar lunas tagihannya dan
mengucapkan terima kasih, para gadis itu pun pergi. Hingga di pintu keluar,
mereka masih beberapa kali menengok ke arahnya, kecuali seorang gadis yang
sedari tadi terlihat acuh.
Rifki mengalihkan perhatiannya pada
sepasang pelanggan yang sudah berdiri di depannya. Menghitung jumlah tagihan
dan melakukan tugasnya sebagai seorang kasir.
-*-*-
Malam kian larut ketika Rifki mengunci
kafenya. Ia melakukan gerakan membuka pintu beberapa kali, memastikan diri
bahwa pintu jati itu sudah terkunci. Oakley
di tangan menunjukkan pukul sebelas lewat dua menit. Rifki menarik napas
panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.
Ia mundur beberapa langkah agar bisa
melihat keseluruhan bangunan kafe.
Dear Café kebanggaannya. Buka dari pukul
sembilan pagi hingga sembilan malam. Berbagai masakan rumahan tersedia di sana.
Beberapa menu makanan asing juga tersedia sesuai pesanan pelanggan.
Setelah beberapa menit mematung di
depannya, Rifki berbalik badan lalu berjalan ke pos satpam. Disalaminya Pak
Tris sebelum bergegas menuju parkir.
Suasana parkir mulai sepi. Hanya tiga
buah mobil yang berjauhan letaknya serta dua motor Honda keluaran terbaru.
Rifki membuka Toyota Corolla keluaran 1985 miliknya. Mobil pertama keluarganya
itu sengaja ia pertahankan. Ia menolak tawaran Ayah untuk mengganti mobilnya
dengan yang lebih baru.
“Nanti,Yah…, kalau Dear sudah
makin besar, insya Allah, Rifki akan menggantinya,” ucapnya malam itu, penuh
keyakinan.
Ayah tersenyum bangga melihat tekad anak
lelaki satu-satunya itu.
Sementara Bunda malah mengomel, khawatir
dengan keselamatan Rifki karena kondisi mobil yang sudah tua.
Rifki menyalakan mesin mobil, menginjak
kopling kuat-kuat untuk memindah persneling lalu menurunkan hand brake.Selanjutnya, perlahan ia
melepaskan kopling seiring dengan kaki kanannya yang mengingak gas.
Toyota berwarna putih itu mulai bergerak
perlahan, menyusuri jalanan kota Malang. Rifki menyalakan radio. Suara Koko
Savaras, sahabat sekaligus penyiar favoritnya berganti dengan hentakan The
Script featuring Will. I.Am. Rifki ikut bernyanyi.
You can throw your hands up/You can
beat the clock
You can move a mountain/You can break rocks
You can be a master/Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself
You can move a mountain/You can break rocks
You can be a master/Don't wait for luck
Dedicate yourself and you gon' find yourself
Standing in the hall of fame
And the world's gonna know your
name
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)
'Cause you burn with the brightest flame
And the world's gonna know your name
And you'll be on the walls of the hall of fame (Hall of Fame, The Script featuring Will.I.Am)
Ingatan Rifki melayang pada Dear. Ia tidak menyalahkan keluarga dan
kawan-kawannya yang meragukan keputusannya. Resiko berkarier di luar sana
memang lebih kecil. Ia pun tak perlu bekerja sekeras sekarang. Cukup eight to five tiap hari. Tapi
keputusannya sudah bulat. Dan ia akan membuktikan bahwa suatu hari,
dunia akan mengenalnya.
Meski banyak kendaraan menyalipnya, Rifki
tak berusaha menyusul mereka. Tiga puluh kilometer per jam, ia rasa cukup.
Inilah momen santai buatnya, setelah kesibukan tanpa henti di kafe. Di lampu
merah, Rifki memilih berbelok ke kiri, melalui Jalan Ijen. Rute yang biasa ia
ambil jika ingin sampai rumah lebih lama.
Rifki membuka jendela. Membiarkan angin
dingin menyapu wajahnya. Sesekali tangan kirinya tampak menggosok-gosok
hidungnya yang gatal, atau mengusap rambutnya ke belakang. Barisan pohon palem
di kanan kiri jalan melambai daunnya ditiup angin. Beberapa meter sebelum ia mengarahkan
mobil ke kanan untuk U turn,
dilihatnya seorang gadis berdiri di atas trotoar.
Rifki merasa mengenal sosok gadis
berambut panjang yang sedang mendekap map di dadanya itu. Ia pun menepikan
mobilnya dan berhenti di bahu jalan. Sengaja ia tidak mematikan mesin. Rifki
mengerutkan kening dan mengetuk-ngetuk setir tanda sedang berpikir keras.
“Oh iya, dia!” serunya sebelum keluar.
“Malam. Mbak yang kerja di akuntan
publik dekat Dear Café, kan?” tanya Rifki sesaat setelah berada di depan gadis
itu.
Yang ditanya langsug mengangguk cepat, hingga
poninya jatuh menutup dahi dan sebagian mata. Setelah memindahkan map ke tangan
kiri, dengan sedikit gugup, gadis berpostur semampai itu segera membenahi
rambutnya.
“Kok di sini, Mbak? Nunggu angkot?" tanya Rifki penasaran.
“Iya. Angkot saya pecah ban,” tuturnya
dengan suara yang sangat lirih. Jika tangan gadis itu tak menunjuk ke arah
angkot di depannya, Rifki pasti bertanya lagi untuk memperjelas pendengarannya.
“Rumahnya di mana?” Rifki bertanya lagi,
“maksud saya, bareng saya saja.” Entah tertular atau bagaimana, Rifki mendadak
ikutan gugup.
“Di daerah Arjosari, Mas,” gadis itu melihat
ke depan, tapi bukan pada Rifki. Selanjutnya, ia malah menjepit map dengan
dagunya agar tangannya bebas membetulkan ikatan rambutnya.
Rifki sempat melihat mata bola sang
gadis.
“Jam segini angkot jarang lewat, Mbak. Bareng sama saya saja. Kebetulan rumah saya sejalur,” ajak Rifki. Ia
menunjuk mobil putihnya.
Tiba-tiba datang seseorang bermotor.
“Raiha! Kok masih di sini?” tanyanya, tanpa
memedulikan Rifki.
“Dewa?” Raiha terbelalak. Matanya tampak
makin bulat.
“Eh, malah bengong. Kenapa atuh?” Dewa
tak sabar.
“He-eh, angkotku pecah ban!” seru Raiha.
“Ayo atuh, bareng aku saja!” tanpa
meminta persetujuan, Dewa langsung mengulurkan helm ke tangan Raiha.
Beberapa saat Raiha tampak bimbang.
Sekilas ia sempat bertatapan dengan Rifki tapi sedetik kemudian sudah duduk di
atas jok motor Dewa.
Dua orang itu pun berlalu begitu saja, tanpa
satu patah kata pun pada Rifki.
Rifki yang ditinggal sendiri, kembali ke
mobil, menutup pintunya dengan kencang lalu menginjak gas kuat-kuat.
-*-*-
Raiha menepuk pundak Dewa ketika sampai
di sebuah gang.
“Turun sini saja, Wa,” teriaknya.
Dewa berhenti, tanpa mematikan mesin
motornya.
“Loh, rumah kamu, kan, masih jauh, Rai. Dua
gang lagi, kalau enggak salah. Kok turun sini?” protesnya.
“Enggak, Wa. Aku ada perlu ke rumah
Budhe. Dekat sini, kok!” jawabnya sambil menggosok-gosok hidungnya yang mancung.
Kali ini Raiha terpaksa berbohong. Ia tak ingin tetangganya berbicara yang
tidak-tidak karena mendapatinya pulang larut dengan seorang lelaki.
“Malam-malam begini? Yang bener, lu!”
sergah Dewa, seolah tahu kebohongan Raiha.
Tanpa menatap mata Dewa, Raiha
mengangguk cepat.
“Euleuh,
eta poni! Dipotong atuh, Neng. Apa enggak sakit nyocok mata begitu? Sama
sekalian rambutmu udah kepanjangan tuh,” ujarnya sok perhatian.
“Aku pamit dulu, ya, Wa. Thank’s a lot tumpangannya,” ucap Raiha.
Ia tak memedulikan Dewa yang memanggil-manggil namanya. Raiha terus berjalan
memasuki gang sempit.
-*-*-
Rifki berbelok ke halaman sebuah rumah
tanpa pagar. Tulisan Culster Boulevard
B2/405 terlihat jelas di kotak surat, di pinggir taman mungil. Rifki memarkir
mobilnya di halaman. Dilihatnya garasi sudah tertutup rapat, dan lampu di dalam
rumah sudah padam.
Rifki mengecek kembali pintu mobilnya
satu per satu. Sudah lama central lock mobil itu tidak berfungsi. Rifki merasa
itu bukan masalah penting saat ini. Setelah melihat ke sekeliling dan merasa
aman, Rifki membuka pintu samping dengan kunci yang diambilnya dari dalam tas
laptop.
Ceklik!
Pintu terbuka. Rifki memasuki rumah
tanpa bersuara. Sesampai di kamar, ia segera meletakkan tasnya, mengambil smartphone dari saku celana lalu
meletakkannya di meja. Setelah melepas t’shirt biru mudanya, ia menggantinya
dengan kaos tanpa kerah warna putih.
Masih tanpa suara, Rifki melangkahkan
kakinya ke kamar mandi. Menggosok gigi, cuci muka dan membersihkan badan.
Sebelum kembali ke kamar, Rifki mampir ke dapur. Berniat mengambil sebotol
besar air putih dingin.
“Baru datang, Rif?” tiba-tiba Bunda
sudah ada di belakangnya.
“Iya, Bun. Bunda belum tidur?”
“Kebangun. Haus. Gimana kafe?” jawab
Bunda sekaligus bertanya.
“Alhamdulillah, Bun. Seharian hampir
selalu penuh. Tadi Rifki cek laporan, penjualan reguler juga sudah melebihi total
penjualan bulan lalu,” jelasnya. Rifki mengikuti Bunda yang duduk di tepi kolam
kecil, di sebelah dapur. Diamatinya ikan koi yang berenang ke sana kemari.
“Alhamdulillah. Padahal ini baru pertengahan
bulan, ya,” ujar Bunda sambil menatap Rifki lekat.
“Iya, Bun,” tanggap Rifki dengan suara parau.
“Kamu capek, tuh. Suaramu serak. Lihat, matamu juga merah,” Bunda masih melihat Rifki dengan intens.
Rifki tersenyum samar lalu menggeleng
ringan.
“Ada yang mau kamu ceritakan ke Bunda,
Rif?” Bunda menyelidik.
Rifki melempar kerikil ke dalam kolam, “Ehm,
ada sedikit Bun. Kriteria calon menantu bagi Bunda seperti apa?”
“Oh, soal taruhan dengan Bunda tadi
siang? He he he. Kirain apa. Bunda hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Nak. Kamu
yang sebaik ini, pasti akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Ikuti kata
hatimu, ya,” jawab Bunda dengan tatapan penuh kasih. “Tidurlah. Kamu perlu
istirahat. Doa Bunda di nadimu,” lanjutnya.
Rifki meraih tangan Bunda, menciumnya
takzim lalu pamit ke kamar. Sebesar itu, Rifki memang masih mengandalkan feeling Bunda untuk memutuskan banyak
hal.
-*-*-
Raiha:
a hectic day
Hari ini aku pulang telat. Banyak
pekerjaan yang harus kutangani di kantor karena Melur sakit. Syukurlah semua
selesai, meski harus lembur.
Pas pulang, angkot yang kami tumpangi
pecah ban. Campur aduk rasanya antara kasihan dan sebel. Kasihan karena pak
sopirnya sudah sepuh, Enggak tega lihatnya. Tapi sebelnya, ban sudah halus
begitu enggak diganti. Mana enggak ada cadangan ban, lagi. Nekat banget. Akhirnya
kami semua diturunkan di Ijen. Hanya dengan permintaan maaf. Karena kasihan, kami
semua membayar penuh meski belum sampai tujuan.
Untung hujan udah reda. Kalau enggak, di
mana aku harus berteduh? Ijen malam-malam begitu, tahu sendiri, kan, kayak apa?
Sepi. Angkot munculnya kayak jaelangkung, sesuka hati. Satu jam satu pun enggak
ada jaminan.
Dah gitu, enam penumpang yang bareng aku
langsung ngontak keluarga dan teman masing-masing. Dalam hitungan menit, semua
sudah dijemput. Aku? Celingak celinguk kayak kambing congek. Pengen nangis
rasanya! Mau nelepon, enggak tahu ke siapa. Ke adik-adik, mereka pasti dah
molor. Cowok, enggak punya. Teman…, para cewek itu? Sama parnonya denganku.
Pasti enggak ada yang mau jemput aku.
Syukur, akhirnya datang seseorang. Dia
nanya-nanya sok akrab, seperti sudah pernah ketemu sebelumnya. Dan dia tahu aku
kerja di kantor Bu Anita. Dia juga sempat nyebut-nyebut Dear Café. Dari mobilnya yang butut, kutebak, dia salah seorang
pelayan di sana.
Tadinya, aku dah pasrah mau ikutan dia.
Tapi tiba-tiba datang si Dewa. Asisten Pak Satria, orang bagian non-atestasi1).
Meski sempat bingung, akhirnya aku milih ikut Dewa. Tapi setelah ingat cerita
Sasya bahwa Dewa itu playboy, aku jadi nyesel ikut dia. Apalagi Sasya bilang,
kalau belakangan Dewa sering ngomongin aku. Jangan-jangan, dia kira aku ada
hati. Duh…
Ngomongin playboy jadi inget Rhea. Apa
kabarnya Jayden yang suka ngejar-ngejar dia? Sudah seminggu ini Rhea enggak curhat
lagi sama aku. Apa dia marah, ya?
“Kakak pasti salah lihat. Kita semua
tahu, kalau kakak enggak pernah perhatian sama cowok. Beberapa kali Kakak salah
lihat, kan?” Sore itu, Rhea tidak terima ketika aku mengatakan Jayden jalan
dengan cewek lain.
Maafkan Kakak, ya Rhe. Kakak akui,
memang sering salah lihat. Jarang perhatian sama para lelaki itu. Tapi kali ini
Kakak yakin banget, bahwa yang merangkul seorang gadis seusiamu di mall itu adalah
Jayden. Tahi lalat di pipi kanannya adalah tanda yang nyata.
Kakak hanya ingin menjagamu, Dik. Sejak
Mama dan Papa harus bekerja di Johor, Kakaklah yang bertanggung jawab terhadap
kalian berdua. Kita harus menjadi contoh yang baik untuk si bungsu Rayna.
Dan kita harus terus menjaga diri agar
tetap menjadi gadis yang baik. Percayalah, kelak, akan datang tiga pangeran impian
kita. Kelak, kita bertiga akan membuat Mama dan Papa bangga.
oOo
1) Jasa
non-atestasi, mencakup jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan,
manajemen, kompilasi, perpajakan dan konsultasi (Wikipedia).
No comments:
Post a Comment